Translate

Senin, 17 November 2014

[RESUME] Kejahatan Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial (Forum Seminar Study Kajian Kasus Florence Sihombing di FH UII)


Oleh    : R Fery Nugroho Listio Rahayu

Yogyakarta. Sebuah teknologi intenet, khususnya media sosial semakin lama semakin diminati oleh semua kalangan publik .Kemudian ,tentu saja pakar-pakar telah memikirkan dampak-dampak buruk yang akan terjadi jika teknologi sosial media ini sudah seakan-akan seperti barang pokok dalam kehidupan bermasyarakat.Oleh karena itu, pakar hukum telah mempertimbangkan hukum-hukum yang akan berlaku untuk mengatur dan mencegah sebuah kriminalisasi dalam media sosial yaitu UU ITE no 11 tahun 2008  .
  Akhir- akhir tahun ini kota yogyakarta dikagetkan dengan kritikan pedas melalui akun media sosial Path oleh pemilik akun Florence Sihombing. Menimbang hal tersebut, kemudian dibahas dalam forum seminar diskusi yang diadakan oleh Fakultas hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada 6 Oktober 2014,yang di hadiri oleh pakar-pakar hukum, mahasiswa hukum beserta hakim ,jaksa ,pengacara dan penyidik  yang menangani tersangka subjek hukum florence sihombing yang dituduh dengan delik pasal 27 ayat 3 ,28 ayat2 UU No.11 Tahun 2008 Tentang informasi Transaksi Elektronik Jo Pasal 310 dan 311 KUHP yang juga  secara otomatis ditibani pasal 45 ayat 1 dan ayat 2 ITE .
Kita ketahui bersama bahwa hal-hal yang telah dilakukan florence sangat mengecewakan beberapa civitas warga yogyakarta. Apalagi kita akan merasa sangat aneh jika pencemaran nama baik itu sesungguhnya dilakukan oleh mahasiswa fakultas Hukum UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta. Yang secara hakekatnya sang pelaku adalah subjek hukum yang jelas mengetahui hukum karena hukum adalah bidang studynya.

Apa yang dikatakan Penyidik tentang Kasus Florence Sihombing ?

Apa yang telah disampaikan Drs.Kokot Indarto yang merupakan Direktur Bareskrim khusus Polda
Yogyakarta ,bahwa Florence Sihombing telah dilaporkan oleh  Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan perwakilan-perwakilan yang lain . Dalam laporan tersebut ,dilaporkan bahwa tulisan Florence di media sosial Path telah menghina dan melecehkan warga yogyakarta.  Pihak penyidik mengakui bahwa tindakan Florence merupakan kejahatan yang dilakukan melalui media sosial kemudian telah diatur dengan pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE no 11 tahun 2008 tentang pencemaran dan pelecehan nama baik melalui alat elektronik.Tapi, dalam proses acara pidana tersebut,kejaksaan melakukan P-19 ,yaitu pengembalian berkas karena kekurangan kelengkapan berkas.pengembalian ini disebabkan jaksa menginginkan disertakannya tuntutan undang-undang yang menyangkut pasal 310 asas Lex Generalis, karena pasal 27 ayat 3 dan 28 ayat 2 UU ITE merupakan Lex  Spesialis . Kemudian kasus ini tetap diproses Kepolisian dengan kembali memperbaiki berkas yang disertakan tuntutan yang disambungkan  pemenuhan pasal Lex Generalis pasal 310 dan 311 KUHPidana. Sebetulnya asas ini kepolisian punya penelitian tersendiri,di saat Polda dahulu memakai tempat praktiknya yang kasusnya mirip dengan kasus florence.Dalam praktik ini timbul sebuah teologis yang cenderung dikalkulasikan objekta hukum,yaitu benar dan salah variabel subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban) . Kemudian kasus Florence dikaji lebih pada nilai logis dan akibat hukumnya terutama pasal 28 ITE tersebut.Penyidik juga menyampaikan bahwa hasrat hati,fashion asas itu melalui potensi hati kita misal sebuah janji itu merupakan hal yang baik (Lex spesialis berubah menjadi Lex generalis). Asas Scripta Guramente yaitu hukum pidana itu semakin mengeras. Ada kesalahan ketiksa akan menjadi Ultimum Remidium ,dan ketika pidana menjadi jalan terakhir,ketika hukum-hukum dibawahnya yaitu perdata sanksinya bisa dilakukan,administrasi positif bisa disaksikan. Kalau seandainya hal tadi terjadi ketidak mampuan maka langsung dipidanakan.
Penyidik mengemukakan fungtional mening dari pakar hukum Gissel dan Menhunson bahwa  filsafat hukum,politik hukum,teori ilmu hukum,bahkan dokmatik hukum pada dasarnya digunakan yang pertama yaitu untuk pembaharuan dan pembentukan hukum . Dan kedua , Penerapan hukum dan praktik hukum. Dalam konteks kasus Florence lebih condong yang kedua karena penerapan hukum lebih kepada konstruksi hukum pasal yang di sangkakan  . Sedangkan dokmatik hukumnya di undang-undang yang sudah disahkan memang diundur berlakunya .Tetapi,prinsipnya secara publisitas sudah berlaku.
Di dalam undang-undang lembaran negara 4834 tahun 2008 april telah dinyatakan berlakunya dan ditempatkan dalam lembaran negara . Penyidik mengatakan Florence entah dia membacanya atau tidak maka dokmatik hukum tidak peduli tentang itu .Karena dalam negara indonesia adalah negara hukum ,tentu saja seluruh warga negara yang ada didalamnya dianggap tahu tentang hukum. Sebetulnya kaedah-kaedah aturan itu ada beberapa macam , yaitu kaedah agama,keasusilaan,kesopanan,dan hukum. Kaedah agama tentu saja menciptakan masyarakat yang patuh terhadap norma agama, norma kesusilaan tentu saja bertujuan masyarakat agar tidak melanggar keasusilaan , kaedah kesopanan bertujuan hidup  itu sedang dan sopan ,kemudia disaat kaedah-kaedah ini tidak seluruhnya mampu mengendalikan masyarakat maka muncullah kaedah hukum yang bertujuan peace full living together atau kata lain supaya hidup itu jadi damai .
Kepolisian mencurigai bahwa tindakan Florence ini karena dinamika sosial. Sudah disinggung di awal bahwa pembentuk undang-undang sudah mempertimbangkan untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.Ini disebutkan dalam pembangunan Nasional khususnya IT ,akan menimbulkan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat.Bahwa atas kemajuan teknologi secara langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan perbuatan hukum baru.Smartphone ,internet dan teknologi canggih lainnya,pada tahun 2007 telah dipertimbangkan akan menimbulkan hukum baru.Penyidik kemudian memberikan downing hukum baru dalam nilai logis hukum yaitu perbuatan hukum dalam ranah pidana itu adalah delik-delik pidana. Disini pasal-pasal yang dilarang merupakan permulaian dari hukum pasal pidana. Contohnya, investasi bodong ,cuci ilegal,kemudian menyerang kehormatan dan menimbulkan permusuhan dll. Dan penyidik mengaku pernah mengikuti pelatihan tentang psikologis seseorang. Kemudian beliau mengatakan tentang psikologis florence sesungguhnya bahwa florence ibaratnya yang tadinya menangis malah bisa menjadi tertawa.

Penyidik mengakui bahwa Inisiatif perbaikan dan perjuangan pihak kepolisian untuk tetap mengusut karena sangat di dorongkannya untuk diteruskan kasus ini oleh pihak LSM sebagai pelapor dengan alasan kolektivitas menyangkut masyarakat ,seperti sudah dijelaskan atas pertimbangan tadi yang dijelaskan secara akademik.Pihak kepolisian juga ingin memberikan kepastian hukum sesuai pasal 183 KUHAcara Pidana agar bisa berjalan dengan baik dan kemudian memberikan efek jera terhadap pelaku pidana,dan kemudian untuk menjawab keresahan masyarakat .Sehingga kepolisian telah mengajukan kembali kedalam ranah Kejaksaan untuk diproses kemudian disidangkan dalam pihak yang paling berwenang mengadili yaitu pengadilan. Penyidik juga sempat mengingatkan tentang forum kajian ini agar jaksa dan hakim yang hadir tidak terpengaruh dengan forum tersebut. Karena yang paling berwenang menilai / menafsir persoalan hukum yang telah ada instrumennya yaitu hakim.
Kemudian penyidik menyinggung tentang penahanan terhadap tersangka yang telah menjadi kontroversi kebingungan  penasehat hukum. Kenapa Florence harus ditahan oleh kepolisian?  Telah dijelaskan dalam forum tersebut, bahwa penahanan disebabkan karena Florence melakukan tindakan yang  tidak koorperativ. Disamping tidak mau menandatangani berita acara pidana tersebut ,Florence juga menghapus seluruh bukti-bukti yang ada dalam media sosial,dan sempat juga membuat status membodoh-bodohkan polisi sebelum datang atas panggilan penyidik yang kemudian juga dihapus beserta akun tersebut . Penahanan ini merupakan penahanan paksa oleh kepolisian karena  terpenuhinya salah satu aspek objektif dan subjektif yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan sebuah penahanan .Ini sesuai dengan Pasal 21 ayat 1 KUH Acara Pidana yang disebutkan bahwa “Perintah penahanan atau penahan lanjut terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup , dalam hal adanya yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana “ dan Pasal 20 yang tercantum “Demi kepentingan penyidikan .”

Ada Perbedaan dengan apa yang di argumenkan oleh Penasehat Hukum

Salah satu lulusan Universitas Islam Indonesia merupakan ketua lembaga bantuan hukum yogyakarta yang juga sebagai penasehat hukum Florence Sihombing. Kita pasti tahu bahwa biasanya pasti ada perbedaan pendapat antara penyidik dan penasehat hukum . Kerena konteks mana yang dibela pasti berbeda. Beliau berpendapat bahwa kasus Florence itu seperti mengingatkan kembali kasus serupayang berujung dengan penahanan. Seperti halnya kasus prita mulyasari yang sempat ditahan selama 3 minggu karena e-mailnya yang mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit. Melihat kasus tersebut ,lembaga maupun komunitas publik memikirkannya dalam study-study kasus bahwa negara membuat pasal ini hanya memanjakan ego-nya. Pasal ini juga kontroversial karena sering digunakan pejabat maupun pemilik kekuasaan untuk menekan pihak yang lebih lemah atau yang tak sepaham dengan kekuasaan yang lebih besar tersebut. Hal ini dapat mengakibatkan chilling effect yaitu kekhawatiran dalam berekspresi dan berbeda pendapat dalam mengungkapkan sesuatu dalam media sosial karena adanya ancaman sanksi hukum dari negara.
Pasal-pasal ini tak menghiraukan siapa sebetulnya subjek hukum yang melakukannya . Sedikit saja menyinggung maka dapat sebagai alat untuk menyeret seseorang kedalam ranah meja hijau. Tapi hal ini dikaji bahwa pasal ini tidak sangat anti demokrasi . Pasal 27 dan 28 UU ITE menurut beberapa orang mengkaji bahwa penegak hukum terlalu mudah untuk menggunakan pasal tersebut walau bukti seminimal mungkin dalam ranah teknologi khususnya internet. Bisa kita lihat isi pasal-pasal tersebut bahwa akan menimbulkan kekhawatiran terhadap pengguna internet dalam berkata-kata. Memnag secara historis pasal tersebut dibuat semata-mata untuk kepentingan umum yang dijamin dengan peraturang perundang-undangan.Akan tetapi kelenturan pasal tersebut sangat rawan digunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab ,yaitu pihak yang berkuasa untuk membatasi hak-hak masyarakat dalam berekspresi atau menyampaikan pendapat dan kritikan terhadap pihak tertentu.
Penasehat hukum tersebut juga menegaskan bahwa kekhawatiran tersebut adalah sesuatu yang beralasan,bukan hanya omongan yang tiada dasarnya. Negara Indonesia adalah Negara hukum ,dengan indonesia adalah negara hukum ini secara otomatis negara mempunyai kewajiban untuk menghormati Hak Asasi Manusia,termasuk juga menghormati sebuah kebebasan berekspresi.Terlebih pasal 28E ayat 2 menerangkan ,setiap orang berhakatas atas kebebasan berserikat,berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dengan melihat pasal tersebut kita dapat ketahui bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusi yang tidak boleh dibelenggu dan dibatasi.
Disamping itu indonesia telah merativikasi undang-undang konvenan internasional tentang hak sipil dan politik undang-undang No 12 Tahun 2005. Pada pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu.” Kemudian ayat 2 kembali ditekankan ,”setiap orang berhak untuk kebebasan untuk menyatakan pendapat;hak ini termasuk kebebasan untuk mencari,menerimadan memberikan informasi dan ide apapun,tanpamemperhatikan medianya baikmedia lainnya sesuai dengan pilihannya.” Dalam Undang-Undang Nomor  39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia .Pasal 23 ayat 2 secara garis besar mengakomodasi hak setiap orang untuk mempunyai ,mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya ,secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik.
Dalam konteks hukum internasional ,pelaksanaan terhadap pasal 19 kovenan internasional hak sipil dan politik dapat dirujuk pada pendapat umum No.10 Kemerdekaan Berekspresi (pasal 19),diman pada pokoknya menegaskan bahwa pelaksanaan hak atas  kemerdekaan berekspresi ini mengandung tugas-tugas dan tanggung jawab khusus oleh negara,dan oleh karenanya pembatasan-pembatasan tertentu terhadap hak ini diperbolehkan sepanjang berkaitan dengan kepentingan orang-orang lain atau kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Namun ada yang lebih daeri sekedar pembatasan ,karena komentar umum 10 (4) juga menegaskan bahwa penerapan pembatasan kebebasan kemerdekaan berekspresi tidak boleh membahayakan esensinya hak itu sendiri.Hak atas perlindungan pribadi (hak reputasi) sebagaimana juga hak atas kemerdekaan berekspresi mendapat perlindungan dari hukum internasional terutama pasal 12 deklarasi Universal HAM dan juga Pasal 17  Kovenan Internasional Hak sipil dan politik. Konstitusi Indonesia juga menjamin perlindungan hak atas perlindungan diri pribadi ini mendasarkan pada pasal 28 G .Namun yang menjadi pertanyaan pokok , tepatkah bila amsumsi dasar yang digunakan hanya bahwa hukum pidana yang dipandang sebagai satu-satunya cara dari bentuk perlindungan dari negara terhadap hak atas perlindungan diri pribadi?
Dalam Inter-American Commission On Human Right juga mencatat dalam kesimpulan dalam “Report on the Compability of “Desacato” Laws With the American Convention on Human Rights” pokoknya menyatakan bahwa akan terjadi efek yang menakutkan (hukum pidana) dalam kemerdekaan berekspresi.Bnayak negara-negara yang membatasi hak untuk berekspresi .Oleh karena itu, tidak sedikit yang pelapor khusus PBB yang meminta agar mendesak negaranya agar merativikasi undang-undang kovenan internasional hak sipil dan politik . Gunanya agar negara tersebut menghapuskan peraturan yang membelenggu kebebasan berekspresi.

Doktrin Akademis dari salah satu pakar hukum acara pidana FH UII
         
            Kita lihat pendapat dari salah satu dosen fakultas hukum universitas islam indonesia yang mempunyai bidang keahlian hukum acara pidana yaitu Dr.H.M.Arif Setiawan SH.MH. Beliau mempunyai pendapat bahwa sebetulnya yang dipertanyakan dalam kasus ini yang bersumber dari kedua pihak antara penasehat hukum dan penyidik Florence adalah bagaimana jika hinaan tersebut tidak ditujukan subyek yang signifikan.Tetapi, malah ditujukan kepada masyarakat ? Bagaimana jika hanya sebagian masyarakat atau lembaga masyarakat meminta untuk dimaafkan .Tetapi Sebagian meminta untuk melanjutkan proses hukum tersebut.Apakah pemaafan masyarakat merupakan konsepsi mediasi final ?
            Uforia pasal 27 dan 28 IT memang selalu menjadi kontroversial . Kenapa? Muatan materi pasal tersebut keduanya tidak menjelaskan unsur penting dalam bagian pasal tersebut.Pasal 27 tentang pengertian pencemaran nama baik. Pasal 28 mengenai penyebaran makian dan hinaan yang langsung terhadap masyarakat. Kemudian menurut Mahkamah Konstitusi penerangannya yaitu mengikuti pasal 310 KUHP .Disini problem juga mulai muncul ,pada pasal 27 UU IT tidak mencantumkan deliknya pasal 310 yang sanagt jelas bisa diproses hukum penuntutan penyidikan jika ada pengaduan dari korban.Komplikasi tentang dua pasal ini adanya persoalan lex generalis dan lex spesialis .yang problematika nya ada dalam penjelasannya
            Menurut pakar acara pidana ini bahea kaum primitif tidak akan menggunakan pasal 310 karena bukan sebagai penentu pergerakan hukumnya pasal 27. Tapi, hanya dipakai penjelasannya apa itu pelecehan dan pencemaran nama baik.Bukan berarti menentukan pasal 27 berubah menjadi delik aduan.Karena Mahkamah Konstitusi telah menentukan pasal 310 merupakan delik aduan.
Penerapan nama baik dalam sisi akademik adanya tarik-menarik perbedaan pandangan adanya perlindungan individu dan kepentingan umum.Dari satu sisi pasal 27 penting untuk melindungi penistaan yang dilakukan orang lain. Tetapi,sangat benar pasal tersebut dalam beberapa kasus menimbulakan problem yaitu dominasi orang kuat terhadap kelompok tertentu yang dipandang lemah. Ini tidak selayaknya untuk disalah gunakan.
Kasus yang sudah cukup hampir dilupakan masyarakat yaitu kasus Prita Mulyasari . Kasus tersebut sangat tidak tepat jika dibandingkan dengan kasus Florence Sihombing. Karena kasus Prita tunduk di ayat 3 yaitu karena kepentingan Umum .Prita saat di media tidak mengungkapkan ekspresinya .Tetapi, mengungkapkan nasibnya saat dirawat.Walau mirip tapi berbeda apakah betul muatan seperti itu bisa masuk ke hukum pidana ? Jawabannya ini juga pro-kontra .Menkominfo pernah menyatakan bahwa kasus-kasus yang sedang dibahas ini tidak masuk kedalam delik-delik yang dituduhkan UU ITE termasuk kasus Florence yang dibayangkan.Tetapi,kalau kita melihat rumusan pasal tekstualnya memang demikian.Sebetulnya disini dalam sisi akademik,kita melihat siapa sesungguhnya yang dianggap paling bisa menafsirkan teks tersebut ? Walau menkominfo telah menyatakan hal yang demikian .Tetapi,penyidik melihat hal tersebut bisa masuk. Suatu teks pasal yang sudah diberlakukan maka yang akan menafsirkannya yang akan memperkarakannya yaitu penyidik bukan pihak lain.Tinggal kita amati apakah Kehakiman akan sejalan dengan tuduhan yang dituduhkan kepolisian.
Kemudian dikaitkan pasal 28 yang mengenai pasal penyebaran kebencian.ini juga problem nya adalah pada pengajian pasal tersebut.Beberapa pasal sebetulnya sudah di uji oleh Mahkamah Konstitusi sebagai pertimbangan apakah iya atau tidak bertentangan dengan konstitusi.jika dikenakan pasal 156 ,pasal ini belum ditemui penyimpangan dan belum dikaji lagi,tapi bukan berarti tidak ada.Kalau memakai pendekatan positivistik bisa saja pasal 156 dimasukkan dalam pasalnya Florence. Tetapi, persoalannya kita belum mengetahui jika di uji dalam sisi konstitusi apakah masih layak dalam hukum pidana kita.Itu merupakan masalah konstusionalitas ,kalau positivistik sepanjang belum dicabut maka tetap berlaku.Itu seperti cara penegak hukum yang masih menggunakan  UU Supersive .Kritikan apaun kalau belum dicabut UU tersebut maka tidak akan dianggap walau muatannya jelas bertentangan dengan konstitusi.
Telah ada pendekatan yang berbeda persoalannya yang tadi sudah disinggung penyidik yaitu fungsi hukumnya ,fungsi keadilan dan fungsi kemanfaatan. Jika seandainya tersebut pilihan maka yang dipilih dahulu adalah sebuah keadilan .Maka timbul pertanyaan ,Keadilan ditujukan untuk siapa? Secara das sein ,ada masyarakat yang meminta untuk dimaafkan dan ada juga masyarakat yang meminta perkara untuk dilanjutkan.Kita lihat konstruksinya dipasal 310 itu condong ke subjek perseorangannya . Apakah yang dikatakan Florence yaitu Jogja Miskin Tolol dan tidak berbudaya ,kata jogja apakah merupakan perseorangan?ini merupakan tiga kata yang dapat diperdebatkan . Jelas dalam pasal 310 itu condong ke perseorangannya. Penasehat hukum menyinggung bahwa beberapa negara sudah menghapus pasal-pasal semacam kasus Florence .Tetapi,berbeda di Indonesia kerena masih mempertahankan pasal tersebut.
Sekarang apakah kata jogja termasuk generalis yang dilindungi? Ini mungkin akan jadi permasalahan.Tapi kalu kita memakai pasal 156 meyebar rasa kebencianterhadap golongan mungkin saja jogja akan termasuk dalam golongan . Menurut Pakar hukum UII ini menegaskan bahwa pasal 310 Florence tidak masuk disitu karena Subjek hukum nya tidak termasuk. Kasus Florence lebih cocok jika dimasukkan pasal 156. Tapi tetap ada pertanyaan ,apakah pasal 156 itu masih layak ? Tetapi,jika belum ada pembaruan dalam sisi positif ini dapat digunakan.

Masalah tentang pemaafan dan/atau Mediasi final merupakan untuk menjelaskan sejauh mungkin dalam menggunakan sarana dalam kasus-kasus sengketa dalam masyarakat.Pemaafan bukan merupakan mediasi final .Tetapi,hanya akan baru masuk ke pertimbangan kehakiman yang kemudian mungkinnya akan terjadi bebas atau pengurangan masa tahanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar