Oleh
: R Fery Nugroho Listio Rahayu
Yogyakarta.
Sebuah teknologi intenet, khususnya media sosial semakin lama semakin diminati
oleh semua kalangan publik .Kemudian ,tentu saja pakar-pakar telah memikirkan
dampak-dampak buruk yang akan terjadi jika teknologi sosial media ini sudah
seakan-akan seperti barang pokok dalam kehidupan bermasyarakat.Oleh karena itu,
pakar hukum telah mempertimbangkan hukum-hukum yang akan berlaku untuk mengatur
dan mencegah sebuah kriminalisasi dalam media sosial yaitu UU ITE no 11 tahun
2008 .
Akhir- akhir tahun ini kota yogyakarta
dikagetkan dengan kritikan pedas melalui akun media sosial Path oleh pemilik akun
Florence Sihombing. Menimbang hal tersebut, kemudian dibahas dalam forum
seminar diskusi yang diadakan oleh Fakultas hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta pada 6 Oktober 2014,yang di hadiri oleh pakar-pakar hukum, mahasiswa
hukum beserta hakim ,jaksa ,pengacara dan penyidik yang menangani tersangka subjek hukum florence
sihombing yang dituduh dengan delik pasal 27 ayat 3 ,28 ayat2 UU No.11 Tahun
2008 Tentang informasi Transaksi Elektronik Jo Pasal 310 dan 311 KUHP yang
juga secara otomatis ditibani pasal 45
ayat 1 dan ayat 2 ITE .
Kita ketahui bersama bahwa hal-hal yang
telah dilakukan florence sangat mengecewakan beberapa civitas warga yogyakarta.
Apalagi kita akan merasa sangat aneh jika pencemaran nama baik itu sesungguhnya
dilakukan oleh mahasiswa fakultas Hukum UGM (Universitas Gadjah Mada)
Yogyakarta. Yang secara hakekatnya sang pelaku adalah subjek hukum yang jelas mengetahui
hukum karena hukum adalah bidang studynya.
Apa yang dikatakan
Penyidik tentang Kasus Florence Sihombing ?
Apa yang telah disampaikan Drs.Kokot
Indarto yang merupakan Direktur Bareskrim khusus Polda
Yogyakarta
,bahwa Florence Sihombing telah dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
perwakilan-perwakilan yang lain . Dalam laporan tersebut ,dilaporkan bahwa
tulisan Florence di media sosial Path telah menghina dan melecehkan warga
yogyakarta. Pihak penyidik mengakui
bahwa tindakan Florence merupakan kejahatan yang dilakukan melalui media sosial
kemudian telah diatur dengan pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE no 11
tahun 2008 tentang pencemaran dan pelecehan nama baik melalui alat elektronik.Tapi,
dalam proses acara pidana tersebut,kejaksaan melakukan P-19 ,yaitu pengembalian
berkas karena kekurangan kelengkapan berkas.pengembalian ini disebabkan jaksa
menginginkan disertakannya tuntutan undang-undang yang menyangkut pasal 310
asas Lex Generalis, karena pasal 27 ayat 3 dan 28 ayat 2 UU ITE merupakan Lex Spesialis . Kemudian kasus ini tetap diproses
Kepolisian dengan kembali memperbaiki berkas yang disertakan tuntutan yang
disambungkan pemenuhan pasal Lex
Generalis pasal 310 dan 311 KUHPidana. Sebetulnya asas ini kepolisian punya
penelitian tersendiri,di saat Polda dahulu memakai tempat praktiknya yang
kasusnya mirip dengan kasus florence.Dalam praktik ini timbul sebuah teologis
yang cenderung dikalkulasikan objekta hukum,yaitu benar dan salah variabel
subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban) . Kemudian kasus Florence dikaji
lebih pada nilai logis dan akibat hukumnya terutama pasal 28 ITE tersebut.Penyidik
juga menyampaikan bahwa hasrat hati,fashion asas itu melalui potensi hati kita
misal sebuah janji itu merupakan hal yang baik (Lex spesialis berubah menjadi
Lex generalis). Asas Scripta Guramente yaitu hukum pidana itu semakin mengeras.
Ada kesalahan ketiksa akan menjadi Ultimum Remidium ,dan ketika pidana menjadi
jalan terakhir,ketika hukum-hukum dibawahnya yaitu perdata sanksinya bisa
dilakukan,administrasi positif bisa disaksikan. Kalau seandainya hal tadi
terjadi ketidak mampuan maka langsung dipidanakan.
Penyidik mengemukakan fungtional mening
dari pakar hukum Gissel dan Menhunson bahwa
filsafat hukum,politik hukum,teori ilmu hukum,bahkan dokmatik hukum pada
dasarnya digunakan yang pertama yaitu untuk pembaharuan dan pembentukan hukum .
Dan kedua , Penerapan hukum dan praktik hukum. Dalam konteks kasus Florence lebih
condong yang kedua karena penerapan hukum lebih kepada konstruksi hukum pasal
yang di sangkakan . Sedangkan dokmatik
hukumnya di undang-undang yang sudah disahkan memang diundur berlakunya
.Tetapi,prinsipnya secara publisitas sudah berlaku.
Di dalam undang-undang lembaran negara
4834 tahun 2008 april telah dinyatakan berlakunya dan ditempatkan dalam
lembaran negara . Penyidik mengatakan Florence entah dia membacanya atau tidak
maka dokmatik hukum tidak peduli tentang itu .Karena dalam negara indonesia
adalah negara hukum ,tentu saja seluruh warga negara yang ada didalamnya
dianggap tahu tentang hukum. Sebetulnya kaedah-kaedah aturan itu ada beberapa
macam , yaitu kaedah agama,keasusilaan,kesopanan,dan hukum. Kaedah agama tentu
saja menciptakan masyarakat yang patuh terhadap norma agama, norma kesusilaan
tentu saja bertujuan masyarakat agar tidak melanggar keasusilaan , kaedah
kesopanan bertujuan hidup itu sedang dan
sopan ,kemudia disaat kaedah-kaedah ini tidak seluruhnya mampu mengendalikan
masyarakat maka muncullah kaedah hukum yang bertujuan peace full living together atau kata lain supaya hidup itu jadi
damai .
Kepolisian mencurigai bahwa tindakan
Florence ini karena dinamika sosial. Sudah disinggung di awal bahwa pembentuk
undang-undang sudah mempertimbangkan untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.Ini
disebutkan dalam pembangunan Nasional khususnya IT ,akan menimbulkan dinamika
sosial yang terjadi dalam masyarakat.Bahwa atas kemajuan teknologi secara
langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan perbuatan hukum baru.Smartphone
,internet dan teknologi canggih lainnya,pada tahun 2007 telah dipertimbangkan
akan menimbulkan hukum baru.Penyidik kemudian memberikan downing hukum baru dalam nilai logis hukum yaitu perbuatan hukum
dalam ranah pidana itu adalah delik-delik pidana. Disini pasal-pasal yang
dilarang merupakan permulaian dari hukum pasal pidana. Contohnya, investasi
bodong ,cuci ilegal,kemudian menyerang kehormatan dan menimbulkan permusuhan
dll. Dan penyidik mengaku pernah mengikuti pelatihan tentang psikologis
seseorang. Kemudian beliau mengatakan tentang psikologis florence sesungguhnya
bahwa florence ibaratnya yang tadinya menangis malah bisa menjadi tertawa.
Penyidik mengakui bahwa Inisiatif
perbaikan dan perjuangan pihak kepolisian untuk tetap mengusut karena sangat di
dorongkannya untuk diteruskan kasus ini oleh pihak LSM sebagai pelapor dengan
alasan kolektivitas menyangkut masyarakat ,seperti sudah dijelaskan atas
pertimbangan tadi yang dijelaskan secara akademik.Pihak kepolisian juga ingin
memberikan kepastian hukum sesuai pasal 183 KUHAcara Pidana agar bisa berjalan
dengan baik dan kemudian memberikan efek jera terhadap pelaku pidana,dan
kemudian untuk menjawab keresahan masyarakat .Sehingga kepolisian telah mengajukan
kembali kedalam ranah Kejaksaan untuk diproses kemudian disidangkan dalam pihak
yang paling berwenang mengadili yaitu pengadilan. Penyidik juga sempat
mengingatkan tentang forum kajian ini agar jaksa dan hakim yang hadir tidak
terpengaruh dengan forum tersebut. Karena yang paling berwenang menilai /
menafsir persoalan hukum yang telah ada instrumennya yaitu hakim.
Kemudian penyidik menyinggung tentang
penahanan terhadap tersangka yang telah menjadi kontroversi kebingungan penasehat hukum. Kenapa Florence harus ditahan
oleh kepolisian? Telah dijelaskan dalam
forum tersebut, bahwa penahanan disebabkan karena Florence melakukan tindakan
yang tidak koorperativ. Disamping tidak
mau menandatangani berita acara pidana tersebut ,Florence juga menghapus
seluruh bukti-bukti yang ada dalam media sosial,dan sempat juga membuat status membodoh-bodohkan
polisi sebelum datang atas panggilan penyidik yang kemudian juga dihapus
beserta akun tersebut . Penahanan ini merupakan penahanan paksa oleh kepolisian
karena terpenuhinya salah satu aspek
objektif dan subjektif yang dapat dijadikan alasan untuk melakukan sebuah
penahanan .Ini sesuai dengan Pasal 21 ayat 1 KUH Acara Pidana yang disebutkan
bahwa “Perintah penahanan atau penahan lanjut terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup
, dalam hal adanya yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa
akan melarikan diri,merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi
tindak pidana “ dan Pasal 20 yang tercantum “Demi kepentingan penyidikan .”
Ada Perbedaan dengan
apa yang di argumenkan oleh Penasehat Hukum
Salah satu lulusan Universitas Islam
Indonesia merupakan ketua lembaga bantuan hukum yogyakarta yang juga sebagai
penasehat hukum Florence Sihombing. Kita pasti tahu bahwa biasanya pasti ada
perbedaan pendapat antara penyidik dan penasehat hukum . Kerena konteks mana
yang dibela pasti berbeda. Beliau berpendapat bahwa kasus Florence itu seperti
mengingatkan kembali kasus serupayang berujung dengan penahanan. Seperti halnya
kasus prita mulyasari yang sempat ditahan selama 3 minggu karena e-mailnya yang
mengeluhkan pelayanan sebuah rumah sakit. Melihat kasus tersebut ,lembaga
maupun komunitas publik memikirkannya dalam study-study kasus bahwa negara
membuat pasal ini hanya memanjakan ego-nya. Pasal ini juga kontroversial karena
sering digunakan pejabat maupun pemilik kekuasaan untuk menekan pihak yang
lebih lemah atau yang tak sepaham dengan kekuasaan yang lebih besar tersebut.
Hal ini dapat mengakibatkan chilling effect yaitu kekhawatiran dalam
berekspresi dan berbeda pendapat dalam mengungkapkan sesuatu dalam media sosial
karena adanya ancaman sanksi hukum dari negara.
Pasal-pasal ini tak menghiraukan siapa
sebetulnya subjek hukum yang melakukannya . Sedikit saja menyinggung maka dapat
sebagai alat untuk menyeret seseorang kedalam ranah meja hijau. Tapi hal ini
dikaji bahwa pasal ini tidak sangat anti demokrasi . Pasal 27 dan 28 UU ITE
menurut beberapa orang mengkaji bahwa penegak hukum terlalu mudah untuk
menggunakan pasal tersebut walau bukti seminimal mungkin dalam ranah teknologi
khususnya internet. Bisa kita lihat isi pasal-pasal tersebut bahwa akan
menimbulkan kekhawatiran terhadap pengguna internet dalam berkata-kata. Memnag
secara historis pasal tersebut dibuat semata-mata untuk kepentingan umum yang
dijamin dengan peraturang perundang-undangan.Akan tetapi kelenturan pasal
tersebut sangat rawan digunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab ,yaitu
pihak yang berkuasa untuk membatasi hak-hak masyarakat dalam berekspresi atau
menyampaikan pendapat dan kritikan terhadap pihak tertentu.
Penasehat hukum tersebut juga menegaskan
bahwa kekhawatiran tersebut adalah sesuatu yang beralasan,bukan hanya omongan
yang tiada dasarnya. Negara Indonesia adalah Negara hukum ,dengan indonesia adalah
negara hukum ini secara otomatis negara mempunyai kewajiban untuk menghormati
Hak Asasi Manusia,termasuk juga menghormati sebuah kebebasan berekspresi.Terlebih
pasal 28E ayat 2 menerangkan ,setiap orang berhakatas atas kebebasan
berserikat,berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dengan melihat pasal tersebut
kita dapat ketahui bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusi yang
tidak boleh dibelenggu dan dibatasi.
Disamping itu indonesia telah
merativikasi undang-undang konvenan internasional tentang hak sipil dan politik
undang-undang No 12 Tahun 2005. Pada pasal 19 ayat 1 menyatakan bahwa “setiap
orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu.” Kemudian ayat 2 kembali
ditekankan ,”setiap orang berhak untuk kebebasan untuk menyatakan pendapat;hak
ini termasuk kebebasan untuk mencari,menerimadan memberikan informasi dan ide
apapun,tanpamemperhatikan medianya baikmedia lainnya sesuai dengan pilihannya.”
Dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia .Pasal 23 ayat 2 secara garis besar mengakomodasi hak
setiap orang untuk mempunyai ,mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai
hati nuraninya ,secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun
elektronik.
Dalam konteks hukum internasional
,pelaksanaan terhadap pasal 19 kovenan internasional hak sipil dan politik
dapat dirujuk pada pendapat umum No.10 Kemerdekaan Berekspresi (pasal 19),diman
pada pokoknya menegaskan bahwa pelaksanaan hak atas kemerdekaan berekspresi ini mengandung
tugas-tugas dan tanggung jawab khusus oleh negara,dan oleh karenanya pembatasan-pembatasan
tertentu terhadap hak ini diperbolehkan sepanjang berkaitan dengan kepentingan
orang-orang lain atau kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Namun ada yang lebih daeri sekedar
pembatasan ,karena komentar umum 10 (4) juga menegaskan bahwa penerapan
pembatasan kebebasan kemerdekaan berekspresi tidak boleh membahayakan esensinya
hak itu sendiri.Hak atas perlindungan pribadi (hak reputasi) sebagaimana juga
hak atas kemerdekaan berekspresi mendapat perlindungan dari hukum internasional
terutama pasal 12 deklarasi Universal HAM dan juga Pasal 17 Kovenan Internasional Hak sipil dan politik.
Konstitusi Indonesia juga menjamin perlindungan hak atas perlindungan diri
pribadi ini mendasarkan pada pasal 28 G .Namun yang menjadi pertanyaan pokok ,
tepatkah bila amsumsi dasar yang digunakan hanya bahwa hukum pidana yang
dipandang sebagai satu-satunya cara dari bentuk perlindungan dari negara
terhadap hak atas perlindungan diri pribadi?
Dalam Inter-American Commission On Human Right juga mencatat dalam
kesimpulan dalam “Report on the
Compability of “Desacato” Laws With the American Convention on Human Rights” pokoknya
menyatakan bahwa akan terjadi efek yang menakutkan (hukum pidana) dalam
kemerdekaan berekspresi.Bnayak negara-negara yang membatasi hak untuk
berekspresi .Oleh karena itu, tidak sedikit yang pelapor khusus PBB yang
meminta agar mendesak negaranya agar merativikasi undang-undang kovenan
internasional hak sipil dan politik . Gunanya agar negara tersebut menghapuskan
peraturan yang membelenggu kebebasan berekspresi.
Doktrin Akademis dari
salah satu pakar hukum acara pidana FH UII
Kita lihat pendapat dari salah satu
dosen fakultas hukum universitas islam indonesia yang mempunyai bidang keahlian
hukum acara pidana yaitu Dr.H.M.Arif Setiawan SH.MH. Beliau mempunyai pendapat
bahwa sebetulnya yang dipertanyakan dalam kasus ini yang bersumber dari kedua
pihak antara penasehat hukum dan penyidik Florence adalah bagaimana jika hinaan
tersebut tidak ditujukan subyek yang signifikan.Tetapi, malah ditujukan kepada
masyarakat ? Bagaimana jika hanya sebagian masyarakat atau lembaga masyarakat meminta
untuk dimaafkan .Tetapi Sebagian meminta untuk melanjutkan proses hukum
tersebut.Apakah pemaafan masyarakat merupakan konsepsi mediasi final ?
Uforia pasal 27 dan 28 IT memang
selalu menjadi kontroversial . Kenapa? Muatan materi pasal tersebut keduanya
tidak menjelaskan unsur penting dalam bagian pasal tersebut.Pasal 27 tentang
pengertian pencemaran nama baik. Pasal 28 mengenai penyebaran makian dan hinaan
yang langsung terhadap masyarakat. Kemudian menurut Mahkamah Konstitusi
penerangannya yaitu mengikuti pasal 310 KUHP .Disini problem juga mulai muncul
,pada pasal 27 UU IT tidak mencantumkan deliknya pasal 310 yang sanagt jelas
bisa diproses hukum penuntutan penyidikan jika ada pengaduan dari korban.Komplikasi
tentang dua pasal ini adanya persoalan lex generalis dan lex spesialis .yang
problematika nya ada dalam penjelasannya
Menurut pakar acara pidana ini bahea
kaum primitif tidak akan menggunakan pasal 310 karena bukan sebagai penentu
pergerakan hukumnya pasal 27. Tapi, hanya dipakai penjelasannya apa itu
pelecehan dan pencemaran nama baik.Bukan berarti menentukan pasal 27 berubah
menjadi delik aduan.Karena Mahkamah Konstitusi telah menentukan pasal 310
merupakan delik aduan.
Penerapan nama baik dalam sisi akademik
adanya tarik-menarik perbedaan pandangan adanya perlindungan individu dan
kepentingan umum.Dari satu sisi pasal 27 penting untuk melindungi penistaan
yang dilakukan orang lain. Tetapi,sangat benar pasal tersebut dalam beberapa
kasus menimbulakan problem yaitu dominasi orang kuat terhadap kelompok tertentu
yang dipandang lemah. Ini tidak selayaknya untuk disalah gunakan.
Kasus yang sudah cukup hampir dilupakan
masyarakat yaitu kasus Prita Mulyasari . Kasus tersebut sangat tidak tepat jika
dibandingkan dengan kasus Florence Sihombing. Karena kasus Prita tunduk di ayat
3 yaitu karena kepentingan Umum .Prita saat di media tidak mengungkapkan
ekspresinya .Tetapi, mengungkapkan nasibnya saat dirawat.Walau mirip tapi
berbeda apakah betul muatan seperti itu bisa masuk ke hukum pidana ? Jawabannya
ini juga pro-kontra .Menkominfo pernah menyatakan bahwa kasus-kasus yang sedang
dibahas ini tidak masuk kedalam delik-delik yang dituduhkan UU ITE termasuk
kasus Florence yang dibayangkan.Tetapi,kalau kita melihat rumusan pasal
tekstualnya memang demikian.Sebetulnya disini dalam sisi akademik,kita melihat
siapa sesungguhnya yang dianggap paling bisa menafsirkan teks tersebut ? Walau
menkominfo telah menyatakan hal yang demikian .Tetapi,penyidik melihat hal
tersebut bisa masuk. Suatu teks pasal yang sudah diberlakukan maka yang akan
menafsirkannya yang akan memperkarakannya yaitu penyidik bukan pihak
lain.Tinggal kita amati apakah Kehakiman akan sejalan dengan tuduhan yang
dituduhkan kepolisian.
Kemudian dikaitkan pasal 28 yang
mengenai pasal penyebaran kebencian.ini juga problem nya adalah pada pengajian
pasal tersebut.Beberapa pasal sebetulnya sudah di uji oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai pertimbangan apakah iya atau tidak bertentangan dengan konstitusi.jika
dikenakan pasal 156 ,pasal ini belum ditemui penyimpangan dan belum dikaji
lagi,tapi bukan berarti tidak ada.Kalau memakai pendekatan positivistik bisa
saja pasal 156 dimasukkan dalam pasalnya Florence. Tetapi, persoalannya kita
belum mengetahui jika di uji dalam sisi konstitusi apakah masih layak dalam
hukum pidana kita.Itu merupakan masalah konstusionalitas ,kalau positivistik
sepanjang belum dicabut maka tetap berlaku.Itu seperti cara penegak hukum yang
masih menggunakan UU Supersive .Kritikan
apaun kalau belum dicabut UU tersebut maka tidak akan dianggap walau muatannya
jelas bertentangan dengan konstitusi.
Telah ada pendekatan yang berbeda
persoalannya yang tadi sudah disinggung penyidik yaitu fungsi hukumnya ,fungsi
keadilan dan fungsi kemanfaatan. Jika seandainya tersebut pilihan maka yang
dipilih dahulu adalah sebuah keadilan .Maka timbul pertanyaan ,Keadilan
ditujukan untuk siapa? Secara das sein ,ada masyarakat yang meminta untuk
dimaafkan dan ada juga masyarakat yang meminta perkara untuk dilanjutkan.Kita
lihat konstruksinya dipasal 310 itu condong ke subjek perseorangannya . Apakah
yang dikatakan Florence yaitu Jogja Miskin Tolol dan tidak berbudaya ,kata
jogja apakah merupakan perseorangan?ini merupakan tiga kata yang dapat
diperdebatkan . Jelas dalam pasal 310 itu condong ke perseorangannya. Penasehat
hukum menyinggung bahwa beberapa negara sudah menghapus pasal-pasal semacam
kasus Florence .Tetapi,berbeda di Indonesia kerena masih mempertahankan pasal
tersebut.
Sekarang apakah kata jogja termasuk
generalis yang dilindungi? Ini mungkin akan jadi permasalahan.Tapi kalu kita
memakai pasal 156 meyebar rasa kebencianterhadap golongan mungkin saja jogja
akan termasuk dalam golongan . Menurut Pakar hukum UII ini menegaskan bahwa
pasal 310 Florence tidak masuk disitu karena Subjek hukum nya tidak termasuk.
Kasus Florence lebih cocok jika dimasukkan pasal 156. Tapi tetap ada pertanyaan
,apakah pasal 156 itu masih layak ? Tetapi,jika belum ada pembaruan dalam sisi
positif ini dapat digunakan.
Masalah tentang pemaafan dan/atau
Mediasi final merupakan untuk menjelaskan sejauh mungkin dalam menggunakan
sarana dalam kasus-kasus sengketa dalam masyarakat.Pemaafan bukan merupakan
mediasi final .Tetapi,hanya akan baru masuk ke pertimbangan kehakiman yang kemudian
mungkinnya akan terjadi bebas atau pengurangan masa tahanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar