Translate

Senin, 17 November 2014

RESUME LENGKAP BUKU : AZAS-AZAS HUKUM PIDANA Prof.Moeljatno S.H

BAB 1 TENTANG HUKUM PIDANA DAN ILMU HUKUM PIDANA

         Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1  1)      Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melaranggar larangan tersebut.
2  2)        Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3  3)       Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Ilmu Hukum Pidana
Ini adalah ilmu atau pengetahuan mengenai suatu bagian khusus dari hukum, yaitu hukum pidana.Objek dari ilmu ini adalah aturan-aturan hukum pidana yang berlaku di suatu negara, bagi kita hukum pidana Indonesia. Hukum Pidana yang berlaku dinamakan hukum pidana positif.
Apakah tujuannya? Tujuannya ialah menyelidiki pengertian objektif dari hukum pidana positif. “Rechtswissenschaft ist die Wissenschaft vom obyektiven sinn des positiven Rechts”, demikian Prof. Radbruch dalam Vorschule der Rechtsfilosofie (1948).
Penyelidikan tersebut melalui tiga fase, tiga StufenI, yaitu:
(    1)   Interprestasi.
(    2)   Konstruksi.
(    3)   Sistematik.

(1)   Interprestasi bertujuan untuk mengetahui pengertian objektif dari apa yang termaktub dalam aturan-aturan hukum. Pengertian objektif adalah mungkin berbeda dengan pengertian subjektif dari pejabat-pejabat ketika membuat aturan. Akibatnya ialah bahwa aturan-aturan hukum lalu dirasa sebagai penghalang perkembangan masyarakat. 
(2)   Konstruksi adalah bentukan yuridis yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang tertentu, dengan tujuan agar apa yang termaktub dalam bentukan itu merupakan pengertian yang jelas dan terang. Rumusan-rumusan delik misalnya adalah suatu konstruksi yuridis. Misalnya: pencurian dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai: mengambil barang orang lain, dengan maksud memilikinya secara melawan hukum (secara tidak sah). Semua perbuatan yang dapat dimasukkan dalam konstruksi ini itulah yang menurut hukum dianggap sebagai pencurian.
(3)   Sistematik adalah mengadakan sistem dalam suatu bagian hukum pada khususnya atau seluruh bidang hukum pada umumnya. Maksudnya ialah agar supaya peraturan-peraturan yang banyak dan beraneka warna itu, tidak merupak hutan belukar yang sukar lagi berbahaya untuk diambil kemanfaatannya, tetapi supaya merupakan tanaman yang teratur dan indah sehingga memberi kegunaan yang maksimal kepada masyarakat.
Dengan mengerti akan makna objektif dari hukum pidana yang berlaku serta mempergunakan sarana konstruksi dan sistematik, maka dalam menetapakan (teopassen) hukum itu, baik sebagai pegawai kepolisian, pamongpraja, jaksa, hakim, maupun sebagai pengacara dan pembela, orang lain bukan saja tahu akan adanya aturan hukum yang berlaku, tetapi juga tahu akan maksudnya, baik sebagai suatu aturan khusus , maupun dalam rangkaiannya dengann lain-lain aturan, yang merupakan bentukan atau konstruksi hukum yang tertentu, dengan tujuan yang tertentu pula, ataupun justru sebagai pengecualian dari aturan-aturan lain.

BAB 2 ILMU HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI

Di samping ilmu hukum pidana, yang sesungguhnya dapat juga dinamakan: ilmu tentang hukumnya kejahatan, ada juga ilmu tentang kejahatannya sendiri yang dinamakan kriminologi. Kecuali objeknya berlainan, tujuannya pun berbeda. Kalau objek ilmu hukum pidana adalah aturan-aturan hukum yang mengenai kejahatan atau yang bertalian dengan pidana, dan tujuannya agar dapat mengerti dan digunakan dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya, maka objek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahtan (si penjahat) itu sendiri. Adapun tujuannya: agar menjadi mengerti apa sebab-sebabnya sehingga sampai berbuat jahat itu.
Berhubung dengan ini, terutama di negeri-negeri Angelsaks, kriminologi biasanya dibagi menjadi tiga bagian: Criminal biology,  yang menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohaninya; Criminal sosiology,  yang mencoba mencari sebab-sebab dalam lingkungan masyarakat di mana penjahat itu berada (dalam milieunya); Criminal policy, yaitu tindakan-tindakan apa yang sekiranya harus dijalankan supaya orang lain tidak berbuat demikian.
Pada umunya sekarang orang menganggap bahwa dengan adanya kriminologi di samping ilmu hukum pidana pengetahuan tentang kejahatan menjadi lebih luas. Karena dengan demikian orang lalu mendapat pengertian baik tentang penggunaan hukumnya terhadap kejahatan maupun tentang pengertiannya mengenai timbulnya kejahtan dan cara-cara pemberantasannya, sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk kebaikan masyarakat dan penjahatnya itu sendiri.
Ilmu hukum pidana dan kriminologi seperti dalam pandangan di atas, lalu merupakan pasangan, merupakan dwitunggal. Yang satu melengkapi yang lain. Kedua ilmu ini di Jerman dicakup dengan nama: Die gesammte Strafrechtswissenschaft, dan dalam negeri-negeri Angelsaks: Criminal science.

BAB 3HUKUM PIDANA INDONESIA
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem yang tertentu.
Selain daripada hukum pidana kita telah dikodifikasi maka bagian hukum ini juga telah diunifikasi, yaitu berlaku bagi semua golongan rakyat, sehingga tidak ada dualisme lagi seperti dalam hukum perdata, di mana bagi golongan rakyat Bumiputera berlaku hukum yang lain daripada yang berlaku bagi golongan Eropa.
Pernyataan bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang ini telah dikodifikasi dan diunifikasi, sesungguhnya adalah kurang tepat, sebab belum begitu lama berselang; untuk beberapa daerah di luar jawa dahulu masih ada pengadilan-pengadilan adat dan pengadilan swapraja yang untuk mereka yang yustisiabel kepada pengadilan tersebut antara lain juga masih berlaku hukum adat.
Setelah pengadilan adat dan pengadilan swapraja berdasar Undang-Undang Darurat 1951 No. 1 secara berangsur-angsur dihapus maka pernyataan yang timbul ialah:
Apakah jika pengadilan adat dan swapraja telah dihapuskan sehingga orang-orang yang yustisiabel kepadanya lalu masuk kekuasaan pengadilan negeri, hukum pidana adat sekaligus lalu tidak berlaku lagi bagi mereka itu? Dalam Undang-Undang Darurat Tahun 1951 No. 1, dalam Pasal 5 ayat 3 hanya disebutkan bahwa pengadilan negeri masih dapat menggunakan hukum pidana adat yang masih hidup.
Adapun ancaman pidananya ditentukan sebagai berikut:
Perbuatan pidana yang tidak ada bandingannya dengan pidana dalam KUHP, dianggap diancam dengan pidana penjara tidak lebih dan 3 bulan dan/atau denda Rp 500,-.
Perbuatan pidana yang ada bandingannya dalam KUHP dianggap diancam dengan pidana yang sama dengan bandingannya yang paling mirip dengan perbuatan pidana tadi.
Akibat dari perbedaan/pendirian ini, ialah bahwa semua peraturan yang menambah atau mengubah KUHP, sesudah 8 Maret 1942, dan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda di daerah-daerah yang dikuasainya dahulu tidak berlaku bagi kita, sehingga dari segi ini dulunya juga masih ada dualisme. Baru dengan adanya Undang-Undang 1958 No. 73 yang pokoknya memperlakukan Undang-Undang 1946 No. 1, untuk seluruh wilayah Indonesia, dualisme tadi menjadi hapus.
Seluruh wilayah Indonesia di sini artinya seluruh wilayah Hindia Belanda dahulu, jadi termasuk Irian Barat, sekalipun pada saat tersebut (berlakunya Undang-Undang 1958-73) Irian Barat masih dalam kekuasaan pemerintah kolonial dan baru tanggal 1 Mei 1962 sebagai hasil Trikori masuk dalam kekuasaan kita (soal ini, dahulu sama saja dengan misalnya daerah Jakarta Raya dan Sumatera Timur sebelum 1950). Jadi sekarang untuk seluruh wilayah Indonesia berlaku KUHP (Undang-Undang No. 1 th. 46 jo. Swb. Nederlands-Indie). Nama KUHP adalah resmi, tersebut Pasal VI undang-undang tersebut yaitu: W.v.S. atau KUHP, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita punya “akta kelahiran yang tersendiri”. Lain halnya dengan KUHD dan KUHPerdata dan sebagainya, yang tidak punya akta kelahiran seperti KUHPidana.

BAB 4 HUKUM PIDANA UMUM, HUKUM PIDANA MILITER, DAN HUKUM PIDANA FISKAL 
Hukum Pidana material yang saya sebutkan terdahulu dinamakan hukum pidana umum, het gemeenestrafrecht, yaitu berlaku untuk umum.
Saya katakan berlaku untuk umum, karena itu juga berlaku bagi para militer, meskipun bagi mereka itu khusus berlaku pidana militer (S. 1934-167 jo. Undang-Undang 1947 No. 39). Bahwa hukum pidana sipil ini juga berlaku bagi anggota-anggota tentara, antara lain ternyata dalam Pasal 1 dikatakan bahwa aturan-aturan umum termasuk juga Bab IX KUHP pada umumnya berlaku dalam menggunakan KUHP militer.

Hukum Pidana Fiskal
Hukum pidana fiskal berupa aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan pidana yang tersebut dalam perundang-undangan (alg. Verord) mengenai penghasilan dan persewaan negara (s Lands middelen en pachten) yang sistemnya berlainan dengan sistem KUHP oleh karena sebelum KUHP ada, itu sudah ada, dan dilangsungkan berlakunya sesudah ada KUHP oleh Pasal 4 Invoeringsverordening v.h. Wetboek w. Strafrecht (Engelbrecht tahun 1950 hal. 1082). Dalam pasal ini ditentukan: Pada saat berlakunya W.v.S. masih tetap berlaku ketentuan tentang hal-hal yang diatur dalam buku I s.d VIII dan ketentuan pidana yang tersebut dalam perundang-undangan umum mengenai penghasilan dan persewaan negara. Jadi, di sini ternyata bahwa sistem yang dipakai dalam KUHP fiskal sebelum ada KUHP, masih terus dipakai.
Perbedaan sistem antara lain ternyata dalam Pasal 4 Ayat 4 Inv. Verord tadi, yang menentukan bahwa dalam hal ditentukan denda, dan terhukum tidak bisa membayar jumlah itu dapat diambil dan penjualan barang-barangnya terhukum atau barang-barang yang ada dalam aturan yang berangkutan dinyatakan executabel untuk bayar denda tersebut. Jadi, eksekusi pidana denda dalam hukum pidana fiskal dilakukan seperti dalam perkara perdata, jika yang kalah tidak bisa membayar kerugian yang ditetapkan oleh hakim.
Ini berlainan dengan sistem KUHP di mana dalam Pasal 30 Ayat 2 ditentukan bahwa jika denda tidak dibayar, maka harus diganti dengan pidana kurungan pengganti (vervangende hechtenis).
Peraturan-peraturan pidana dalam hukum fiskal dipandang sebagai pelanggaran, tetapi perihal:
a.         Menyerahkan terpidana pada pemerintah jika belum berumur 16 tahun;
b.        Percobaan dan pembantuan;
c.         Tenggang (termijn) kedaluwarsa (verjaring).
Untuk penentuan dan penjalanan pidana, tidak diikuti aturan-aturan mengenai hal itu yang berlaku bagi pelanggaran, tetapi yang berlaku bagi kejahatan.
Oleh karena perbuatan-perbuatan pidana fiskal, jika tidak ditentukan lain, dipandang sebagai pelanggaran, maka dalam pembuktian juga diurut pembuktian yang berlaku bagi pelanggaran, yaitu bahwa pada umumnya tidak perlu dibuktikan tentang kesalahan terdakwa, cukup bahwa dibuktikan terdakwa melakukan perbuatan pidana itu.


BAB 5 ASAS HUKUM DELICTUM NULLA POENA SINE PRAEVIA LEGE 
 Telah dikatakan, bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis: Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Jadi, mengenai criminal responsibility atau criminal liability.
Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act, juga ada dasar yang pokok, yaitu: asas legalitas (Principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya ini dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praaevia legi (tidak ada dilik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
Ucapan Nullum delictum nulla poena sine praevia legi  ini berasal dan von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775 – 1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah Latin tadi dalam bukunya: Lehrbuch des peinlichen Recht (1801).
Perumusan asas legalitas dan von Feurbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom psychologischen Zwang”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychenya, lalu diadakan tekanan untuk tidak berbuat. Dan kalau toh dia melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Jadi pendirian yang tergolong absolut (mutlak). Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).
Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu:
(1)     Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
(2)     Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogis (kias).
(3)     Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

BAB 6 PERUBAHAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT TERJADINYA PERBUATAN
Sekarang yang menjadi soal ialah: bagaimanakah jika setelah perbuatan dilakukan, akan tetapi sebelum perkara diadili, ada perubahan dalam aturan hukum? Pasal 1 Ayat 2 KUHP menetukan: “jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya (terdakwa)”. Dengan ketentuan ini, maka pada lex temporis delicti  di atas diadakan pembatasan, dalam arti bahwa asas itu tidak berlaku jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan dan sebelum perkara diadili. Dalam hal demikian, yang dipakai untuk mengadili ialah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Bagaimana apabila aturan hukum yang lama dihapuskan oleh yang baru? Apakah dalam hal demikian juga dapat dikatakan ada aturan yang paling ringan? Sebagai contoh misalnya arrest HR tahun 1921 (tersebut dalam kumpulan arrest hukum pidana, van Bemmelen hal 35), di mana ditentukan bahwa: Apabila dengan perbuatan dalam sesuatu aturan, perbuatan yang dulunya merupakan perbuatan pidana, kemudian lalu tidak menjadi perbuatan pidana lagi, maka aturan itu harus dipandang sebagai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Bagaimana apabila aturan yang baru itu bersifat penarikan kembali atau penghapusan berlakunya aturan yang memang dalam sifatnya hanya dimaksud untuk sementara waktu saja Arrest HR tahun 1936 (lihat kumpulan v. Bemmelen hal. 38 Wet tentang krisis pertanian, Lanbouw Crisiswet, menentukan Penarikan kembali atau perubahan aturan yang karena sifatnya memang hanya berlaku untuk sementara waktu saja, tidak dapat dipandang sebagai perubahan dalam perundang-undangan seperti yang dimaksud oleh Pasal 1 Ayat 2 KUHP. Adapun duduk perkaranya adalah sebagai berikut: Menurut Pasal 9  Landbouwcrisiswet, dalm waktu-waktu tertentu, mengangkut bahan makanan itu diharuskan pakai izin. Adapun penentuan waktu tertentu itu, diserahkan kepada Koninklijk besluit. Pasal 31 dari wet itu, mengancam dengan pidana, orang yang melanggar aturan tersebut. Di sini ternyata bahwa tidak tiap-tiap perubahan perundang-undangan dapat dipandang sebagai perubahan perundang-undangan dalam arti Pasal 1 Ayat 2 KUHP. Harus dilihat lebih dulu apakah yang mendorong pembuat undang-undang untuk mengadakan perubahan.
Jika yangmendorong adalah perubahan pandangan tentang patut atau tidak patut dipidananya sesuatu perbuatan yang telah dilakukan, maka itu adalah perubahan yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 2 KUHP.
Dalam KUHP Swiss tidak diadakan aturan hukum transistoir (peralihan) pada umumnya, tetapi hanya hukum transistoir pada waktu mulai berlakunya KUHP. Pasal 2 KUHP Swiss ini menentukan: Jika seseorang melakukan kejahatan (Verbrechen oder Vergehen) pada saat sebelum berlakunya undang-undang ini, tetapi baru diadili sesudahnya berlaku, maka undang-undang ini hanya digunakan jika lebih ringan bagi terdakwa.
Meskipun demikian, asas retroactivite’des lois plus douces kiranya juga diambil sebagai pedoman dalam hukum transitoir pada masa kemudian, oleh karena dasar itu dikatakan dengan hukum kebiasaan (hukum yang tidak tertulis).
Yang perlu mendapat perhatian ialah catatan seseorang penulis (Blakemore) pada Pasal 6 itu. Dikatakan bahwa, meskipun pengurangan menurut undang-undang pada maksimum pidana yang diancamkan terhadap suatu kejahatan, tidak berlaku surut (does noy apply retroactively) bagi orang-orang yang telah menjalani pidananya menurut aturan yang lama, namun biasanya hal itu merupakan dasar untuk mengadakan pengurangan secara administratif.

BAB 7. BATAS-BATAS BERLAKUNYA PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM MENURUT  TERJADINYA PERBUATAN
            Dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, diadakan aturan-aturan mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum menurut waktu atau saat terjadinya perbuatan. Dalam pasal 2 sampai 9 KUHP sebaliknya diadakan peraturan-peraturan mengenai batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat perbuatan.
Ditinjau dari sudut negara, ada dua kemungkinan pendirian yaitu :
Pertama: Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warganya sendiri maupun oleh orang asing (azas teritorial)
Kedua: perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara dimana saja,juga diluar wilayah negara (azas personal) juga dinamakan prinsip nasionalitas aktif.
            Dalam azaz pertama, titik  berat ditujukan kepada terjadinya perbuatan di dalam wilayah negara. Siapa yang melakuakannya atau orang asing, tidak menjadi soal. Dalam azas kedua, titik beratnya diletakan kepada orang yang melakuakan perbuatan pidana, tempat terjadinya delik adalah tidak penting.
            Azas pertamalah yang pada masa ini lazim dipakai oleh kebanyakan negara-negara, juga Indonesia. dan ini sudah sewajarnya. Tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah negara harus tunduk kepada peraturan negara,
            Azas kedua tidak mungkin lagi digunakan sepenuhnya apabila warga negara berada dalam wilayah negara lain yang kedudukannya gecoordineerd, artinya yang sama-sama berdaulat, karena bertentangan dengan kedaulatan negara ini, apabila ada orang asing di dalam wilayahnya, tidak diadili menurut hukum negara itu. Hanya jika orang itu ada dalam wilayah negara yang gesubordineerd dengan negaranya sendiri, azas ini dapat digunakan, sebagai contoh yang dekat ialah sewaktu pendudukan Jepang disini.

BAB 8. ISTILAH PERBUATAN PIDANA
             Di muka telah saya katakan, bahwa perbuatan pidana adalah perbuata yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melangggar pelanggaran tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum  dilarang dengan ancaman pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan bukan orang. Dan orang tidak dapat diancam hukum pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Dan justru untuk menyatakan hubungan yang erat itu maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian absrtrak yang menunjukan kepada dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian yang tertentu dan kedua adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.
            Karena itulah, hemat saya, maka kurang tepat jika untuk pengertian yang abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagaimana halnya dalam pasal 14 ayat 1 UUD sementara dahulu, yang memakai istilah “peristiwa pidana” sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya : matinya orang.
            Peristiwa ini saja tak mungkin dilarang. Hukum pidana tidak melarang adanya orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika matinya orang itu karena keadaan alam entah karena penyakit, entah karena sudah tua, maka peristiwa itu tidak penting sama sekali bagi hukum pidana. Juga tidak penting, jika matinya orang itu karena binatang. Baru apabila matinya ada hubungan dengan kelakuan orang lain, disitulah peristiwa tadi penting bagi hukum pidana.
            Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana.” Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak kementrian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari “perbuatan” tapi tindak tidak menunjuk kepada hal yang abstrak dari perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya dalam peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak tanduk, tingkah laku,gerak-gerik   dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai “ditindak” . oleh karena tindak sebagai yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya sendiri, maupun dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.

BAB 9. UNSUR-UNSUR ATAU ELEMEN-ELEMEN PERBUATAN PIDANA
            Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir. Oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkannya, adalah suatu dalam keadaan lahir.
            Disamping kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan adanya hal ikhwat atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal mana oleh Van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang diluar si pembuat.
            Contoh-contoh dari yang pertama adalah: hal menjadi pejabat negara (pegawai negeri)yang diperlukan dalam delik delik jabatan seperti dalam pasal 413 KUHP dan seterusnya (yang terkenal: 418,419). Kalau hal menjadinya pejabat negara tidak ada, tidak mungkin ada perbuatan tersebut. Contoh dari hal ke-2  misalnya dalam pasal 160 KUHP, penghasutan harus dilakukan ditempat umum. Dalam pasal 332 (Schaking, melarilan wanita) disebut bahwa perbuatan itu harus disetujui oleh wanita yang dilarikan sedangkan pihak orangtuanya tidak menyetujuinya.
Kadang-kadang dalam rumusan perbuatan pidana yang tertentu, dijumpai adanya ikhwal tambahan yang tertentu pula; misalnya dalam pasal 164, 165: kewajiban untuk melapor kepada yang berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan, Orang yang tidak melapor baru melakukan perbuatan pidana, kalau kehatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Hal kemudian terjadinya kejahatan itu merupakan unsur tambahan.
            Pasal 331. Keharusan memberi pertolongan pada yang sedang menghadapi bahaya maut. Jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana kalau orang  yang dalam bahaya tadi kemudian lalu meninggal. Hal ikhwal tambahan yang tertentu seperti yang dicontohkan diatas dalam buku-buku Belanda dinamakan :Bijkomende voorwarden van Strafbaarheid” yaitu syarat-syarat tambahan untuk dipidananya (strafbaar) seseorang.
            Keadaan-keadaan yang terjadinya kemudian daripada perbuatan yang bersangkutan, dinamakan: unsur tambahan, karena rationya atau alasannya untuk mengadakan syarat tersebut ialah bahwa tanpa adanya keadaan itu, perbuatan yang dilakukan tidak cukup merupakan pengganguan ketertiban masyarakat, sehingga tidak perlu adanya sanksi pidana.
            Kemudian perlu diketahui juga bahwa ada keadaan-keadaan tambaha lain yang ditimbulkan sesudah dilakukan perbuatan yang tertentu tapi tidak merupakan “bijkomende voorwaarde van Strafbaarheid” seperti diatas.  Berbeda dengan hal diatas, disini tanpa adanya keadaan tambahan tersebut terdakwa telah melakukan perbuatan pidana, yang dapat dituntut untuk dijatuhi pidana sebagaimana diancamkan. Tapi dengan adanya keadaan tambahan tadi, ancaman pidana lalu diberatkan. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan unsur-unsur yang memberatkan pidana.
            Biasanya dengan adanya perbuatan yang ditentukan seperti yang dirumuskan dengan adanya unsur-unsur diatas maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dengan wajar.

BAB 10. CARA ATAU TEKHNIK UNTUK MERUMUSKAN PERBUATAN PIDANA
            Jika kita melihat buku II dan III KUHP maka disitu di jumpai beberapa banyak rumusan- rumusan perbuatan beserta fungsinya yang dimaksud untuk menunjukan perbuatan perbuatan mana yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa Elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang.
            Pencurian misalnya unsur-unsur pokoknya ditentukan sebagai : mengambil milik orang lain. Tetapi tidak tiap-tiap mengambil milik orang lain adalah pencurian, sebab ada orang yang mengambil barang orang lain untuk disimpan dan kemudian diserahkan kepada pemiliknya.
             Untuk membedakan bahwa yang dilarang itu bukanlah tiap-tiap pengambilan barang orang lain, maka dalam pasal 362 KUHP disamping unsur-unsur tadi,  ditambah dengan elemen lain yaitu : dengan maksud dimilikinya secara melawan hukum.
Jadi rumusan pasal pencurian dalam pasal 362 tadi terdiri atas unsur-unsur:
1.      Mengambil barang orang lain dan
2.      Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.


BAB 11. PEMBAGIAN PERBUATAN PIDANA DALAM KEJAHATAN DAN PELANGGARAN
            Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita bagi atas Kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain dari pasal 4,5,39,45, dan 53 buku ke-1. Buku II adalah melulu tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran.
            Menurut M.v.T (Smidt I  hlm 63 dan seterusnya) pembagian atas dua jenis tadi didasarkan atas perbedaan prinsipiil. Dikatakan, bahwa kejahatan adalah “rechdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai Onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
            Pelanggaran sebaliknya adalah “Wetsdelijktern” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.
            Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi kejahatan adalah lebih berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa:
1.      Pidana penjara diancamkan pada kejahatan saja.
2.      Jika mengahadapi kejahatan maka dibentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Berhubungan dengan itu kejahatan dibedakan pula dalam kejahatan dolus dan culpa
3.      Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana (pasal 54) juga pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana (pasal 60)
4.       Rengang kadaluawarsa, baik untuk menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5.      Dalam hal perbarengan (Concursus) para pemidanaan berbeda buat pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat (pasal 65,66-70)
Perbedaan kejahatan dan pelanggaran tidak menjadi ukuran lagi untuk menentukan pengadilan mana yang berkuasa mengadilinya, seperti dahulunya, oleh karena sekarang semua diadili oleh pengadilan negeri. Meskipun demikian, ada perbedaan dalam acara mengadili.
           
BAB 12. PEMBAGIAN-PEMBAGIAN LAIN DARI PERBUATAN PIDANA
            Perbuatan pidana. Selain daripada dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:
(1)   Delik dolus dan delik culpa
Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan: misalnya pasal 338 KUHP “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”, sedangkan delik culpa, orang juga dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaanya.
(2)   Delik comissionis dan delikta omnis
Yang pertama adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (pasal 362), menggelapkan (pasal 372) menipu(378) yang kedua adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat. Misalnya delik dirumuskan dalam pasal 164. Mengetahui suatu permufakatan jahat (samenspanning) untuk melakukan kejahatan tersebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang terkena.
Pasal: tidak mengindahkan kewajiban menurut Undang-undang sebagai saksi atau ahli.
Ada pula yang dinamakan delikta commisionis per omissinem commisa, yaitu delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan jalan:tidak memberi makan pada anak itu.

(3)   Delik biasa dan delik yang dikualisifir
Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Ada kalanya unsur-unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa, ada kalanya obyek yang khas, ada kalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan delik biasa tadi.

(4)   Delik menerus dan tidak menerus.
Dalam delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus, misalnya pasal 333 KUHP yaitu orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah (wederrchtlijke vrijheidhs-beroving). Keadaan yang dilarang itu berjalan terus sampai korban dilepas atau mati.

BAB 13LOCUS DELICTI, TEMPUS DELICTI 
Locus delicti perlu diketahui untuk:
1.      Menentukan apakah hukum pidana Indonesia berlaku terhadap perbuatan pidana tersebut atau tidak.
2.      Menentukan kejaksaan dan pegadilan mana yang harus mengurus perkaranya.
Tempus delicti adalah penting berhubung dengan:
1.      Pasal 1 KUHP: Apakah perbuatan yang bersangkut paut pada waktu itu sudah dilarang dan diancam dengan pidana?
2.      Pasal 44 KUHP: Apakah terdakwa ketika itu mampu bertanggung jawab?
3.      Pasal 45 KUHP: Apakah terdakwa ketika melakukan perbuatan sudah berumur 16 tahun atau belum?
4.      Pasal 79 (verjaring atau kadaluwarsa). Dihitung mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi.
5.      Pasal 57 HIR. Diketahuinya perbuatan dalam keadaan tertangkap tangan (op heterdaad)
Menurut teori, biasanya tentang locus delicti ini ada 2 aliran, yaitu:
1.      Aliran yang menentukan disatu tempat, yaitu tempat dimana terdakwa berbuat.
2.      Aliran yang menentukan dibeberapa tempat, yaitu mungkin tempat kelakuan, dan mungkin pula tempat akibat. Sebagai contoh dari aliran yang pertama adalah arrest HR di Nederland tahun 1889  tentang penipuan (lihat kumpulan arrest hukum pidana Bemmelen kaca 40 no 14). Aliran pertama ini antara lain dianut oleh Pompe (hlm 72 dan 73) dan Langemeyer (jilid I hlm 62). Menurut aliran kedua, locus delicti adalah boleh pilih antara tempat dimana perbuatan dimulai dengan kelakuan terdakwa hingga perbuatan selesai dengan timbulnya akibat.
Mezger (hlm 64) berpendapat bahwa untuk tempus delicti ini tidak mungkin diadakan jawaban yang sama buat semua keperluan. Haruslah dibedakan menurut maksud daripada peraturan:
1.      Untuk  keperluan kadaluwarsa dan hak penuntutan yang perlu ialah waktu perbuatan seluruhnya terjadi, jadi pada waktu sesudah terjadinya akibat.
2.      Untuk keperluan: apakah aturan-aturan hukum pidana berlaku atau tidak, dan untuk penentuan apakah mampu bertangggung jawab atau tidak, atau ada atau tidaknya perbuatan bersifat melawan hukum (karena ada atau tidaknya izin dari yang berwajib), tempus delicti adalah waktu melakukan kelakuan dan waktu terjadinya akibat disini tidak mempunyai arti.



BAB 14 TENTANG KELAKUAN ATAU TINGKAH LAKU 
Dikatakan bahwa dalam hukum pidana, kelakuan atau tingkah laku itu ada yang positif dan ada yang negatif. Dalam hal kelakuan positif terdakwa berbuat sesuatu, sedangkan dalam hal negatif dia tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. Dahulu umumnya dikatakan, bahwa kelakuan (handeling) positifadalah gerakan otot yang dikehendaki (een gewilde spierbeweging) yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat (simons hlm 140 van Hamel hlm 187).
Menurut Pompe makna gedraging (kelakuan) dapat ditentukan 3 syarat, yaitu: suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang, yang tampak keluar, dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. Van Hattum (hlm 152) sebaliknya mengatakan, bahwa gedraging itu harus dipandang sebagai psysiek substraat (dasar yang fisik) dari tiap-tiap delik, yaitu semata-mata harus dipandang dari sudut jasmani saja, tanpa ditambah unsur subjektif maupun normatif. Bagi beliau kelakuan adalah pengertian yang kleurloos, tidak berwarna. Jadi juga tidak perlu dikehendaki atau disadari.
Saya lebih condong kepada pendapat Vos, yaitu hanya sikap jasmani yang disadari sajalah yang masuk dalam pengertian kelakuan. Tetapi batasan “yang disadari” ini jangan diartikan bahwa sikap itu selalu dan untuk seluruhnya harus tegas kita insafi, tetapi harus diartikan secara negatif, yaitu tidak termasuk kelakuan jika sikap jasmani yang tertentu betul-betul tidak disadari. Sesungguhnya, syarat batin ”disadari” disamping syarat lahir “sikap jasmani” untuk adanya kelakuan.

BAB 15 TENTANG AKIBAT DAN HUBUNGAN KAUSAL

 Dalam delik-delik yang dirumuskan secara materi, disitu ada keadaan yang tertentu yang dilarang, misalnya dalam pembunuhan: adanya orang yang mati. Untuk dapat menuntut seseorang karena disangka membikin mati A tadi maka harus dibuktikan bahwa karena kelakuan orang itu lalu timbul akibat, yaitu matinya A. Dikatakan bahwa antara matinya A dan orang tadi harus ada hubungan kausal. Juga dapat dikatakan bahwa kelakuan orang tadi menjadi musabab matinya A.
Selain dalam delik-delik yang dirumuskan secara materi maka penentuan hubungan kausal diperlukan pula dalam delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya (door het gevolg gequalifiseerde delikten), yaitu dimana karena timbulnya suatu akibat yang tertentu, ancaman pidana terhadap delik tersebut diberatkan. Tanpa adanya hubungan kausal antara akibat yang tertentu dengan kelakuan orang yang didakwa menimbulkan akibat tadi maka tidak dapat dibuktikan bahwa orang itu yang melakukan delik tersebut, apalagi dipertanggungjawabkan kepadanya.
Ada penulis yang mengatakan (Vos hlm. 74) bahwa juga dalam menghadapi delik dirumuskan secara formal ada kalanya hubungan kausal diperlukan, yaitu apabila elemen kelakuan dan akibat terpisah menurut waktu. Jadi, timbulnya akibat yang tertentu baru kemudian daripada saat terjadinya kelakuan. Seperti contoh pemalsuan surat, pencurian gas dengan mengebur lubang dipipa gas tetangga.


BAB 16 TEORI CONDITIO SINE QUA NON
Ada aliran yang mengatakan bahwa tidak mungkin ditetapkan secara positif apa yang menjadi musabab dari suatu akibat. Yang mungkin hanyalah menentukan secara negatif yaitu apakah akibat tersebut dapat dipikirkan tanpa adanya musabab atau hal tersebut menjadi musabab dari akibat itu. Teori ini dalam hukum pidana diajukan oleh von Buri dan dinamakan teori Conditio sine qua non (syarat-syarat tanpa mana tidak). Menurut beliau, musabab adalah setiap syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat.
Teori ini juga dinamakan teori ekuivalensi, yaitu karena menurut pendiriannya setiap syarat adalah sama nilainya (equivalent). Juga dinamakan Bedingungstheorie, karena baginya tidak ada perbedaan antara syarat dan musabab. Teori ini dahulu dianut oleh antara lain Reichsgericht Jerman, yaitu mahkamah tertinggi Jerman sebelum kalah dalam perang dunia kedua. Di negara Belanda penganutnya antara lain adalah Van Hamel.
Karena pandangan van Hamel tersebut tidak mungkin dipakai, apabila menghadapi delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, dimana untuk memberi pemberatan pidana tidak diperlukan adanya kesalahan pada terdakwa terhadap timbulnya akibat yang memberatkan tadi, cukup jika secara objektif dapat ditentukan bahwa akibat timbul karena perbuatannya. Dalam mencari batasan antara syarat dan musabab ini ada dua pandangan yang berlaina, yaitu:
a.       Mereka yang mengadakan batasan secara umum (menggeneralisasi) yaitu secara abstrak, jadi tidak terikat pada perkara yang tertentu saja, dan karena itu mengambil pendirian pada saat timbulnya akibat (ante faktum).
b.      Mereka yang mengadakan batasan tersebut secara pandangan khusus (mengindividualisasi), tidak meninjau secara abstrak dan umum, tetapi secara konkret mengenai perkara yang tertentu itu saja.
Golongan a) adalah golongan teori-teori yang menggeneralisasi dan golongan b) adalah golongan teori-teori yang mengindividualisasi

BAB 17 TEORI YANG MENGGENERALISASI
      Yang paling terkenal dalam golongan ini adalah teori adequat, yang diajukan oleh J. Von Kries seorang sarjana matematika Jerman. Menurut teori ini, musabab dari suatu kejadian adalah syarat yang pada umumnya menurut jalannya kejadian yang normal, dapat atau mampu menimbulkan akibat atau kejadian tersebut (Simons, 6e druk hlm 144 no 4). Ada yang mengatakan (Vos hlm 79) bahwa menurut von Kries yang dimaksud dengan normal ialah sepanjang terdakwa pribadi mengetahui atau seharusnya mengetahui keadaan-keadaan disekitar akibat.
      Prof. Simons yang pandangannya mengenai hubungan kausal digolongkan disini, berpendapat bahwa musabab adalah tiap-tiap kelakuan yang menurut garis-garis umum mengenal pengalaman manusia (naar de algemene regelen der menselijke ervaring) patut diadakan kemungkinan, bahwa karena kelakuan itu sendiri dapat ditimbulkan akibat. Pompe (hlm 81) mengenai hal ini berpendapat sebagai berikut: musabab adalah hal yang mencenderung atau yang mengandung kekuatan umtuk menimbulkan akibat didalam keadaan itu.
      Keberatan saya terhadap teori yang menggeneralisasi ialah, bahwa mereka dalam mencari batasan antara syarat dan musabab, berpikir secara abstrak dan umum, sehingga dengan demikian sesungguhnya telah melepaskan diri dari perkara yang konkret, yang tertentu, dan yang penyelesaiannya justru diharapkan dari penentuan batas tersebut. Hemat saya, dalam menghadapi suatu perkara, untuk memberi putusan yang tepat, tidak dapat dipakai sebagai dasar keadaan-keadaan yang abstrak dan umum, tetapi memerlukan penelitian yang rapi terhadap perkara tertentu, yang konkrit dihadapi itu; agar seluruh fakta yang mungkin diketahui secara objektif diwaktu itu, dan mempunyai pengaruh pada terjadinya akibat, ikut dipertimbangkan dalam penentuan batas antara syarat dan musabab.

BAB 18.TEORI YANG MENGINDIVIDUALISIR
            Yang terkenal dalam golongan ini adalah teori yang diajukan oleh Birkmeyer beliau mengambil sebagai pangkal bertolak teori Conditio sine qua non.Di dalam rangkaian syarat-syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat, lalu dicarinya syarat manakah yang dalam keadaan tertentu itu, yang paling banyak membantu untuk terjadianya akibat (meist wirksam).Karenanya maka teori ini dinamakan Theory der meistwirksame Bedingung.
            Keberatan yang diajukan terhadap teori ini ialah:bagaimana dapatnya mengukur kekuatan sesuatu syarat untuk menentukan nama yang paling kuat, yang paling banyak membantu pada timbulnya akibat. Birkmayer sendiri tidak memberikan jawaban atas soal ini.
            Beliau hanya memberi contoh-contoh terhadap mana selalu dapat pula diajukan contoh-contoh lain yang justru menunjukkan sebaliknya, sehingga dari situ dapat ternyata bagaimana sukarnya membanding-bandingkan kuantitas daripada masing-masing syarat.
            Dalam golongan “Ubergewitchs-theori” yang diajukan oleh Karl Binding. Menurut teori ini: Musabab adalah syarat yang mengadakan ketentuan terhadap syarat-syarat positif untuk melebihi syarat-syarat negatif.
            “Menyebabkan sesuatu perubahan adalah sama dengan perubahan daripadakeseimbangan antara syarat-syarat yang membantunya, sehingga menjadi lebih berat syarat-syaratnya.
            Dalam golongan ini dapat disebut teori yang diajukan oleh Schepper, guru besar hokum pidana R.H.S. Batavia dahulu (Jaarboekje R.H.S. 1927). Hal-hal yang penting dalam pandangan beliau adalah:
1. Hubungan kausal letaknya di lapangan sein, lapangan lahir, hal mana yang harus dipisahkan dari pertanggung jawaban yang ada di lapangan Sollen, lapangan bathin.
2. Musabab adalah kelakuan yang mengadakan factor perubahan dalam suasana keseimbangan yang menjadi pangkal peninjauan dari kompleks kejadian yang harus diselidiki dan yang memberi arah dalam proses alam, menuju kepada akibat yang dilarang.
3. Meskdan kepastiannyaipun ukuran: Faktor perubahan yang menuju arah akibat tersebut dalam hanya relative saja, tetapi secara negatif sudah dapat ditarik batas yang pasti, yaitu bahwa: manakala untuk kejadian itu selain daripada hubungan yang kita dapatkan, masih ada lain kemungkinan untuk menerangkannya (andree verklarings mogelijkheid) yang sama kuatnya atau melebihi dari hubungan yang didapatkan tadi, maka disitulah ternyata, bahwa hubungan yang pertama itu tidak kuat untuk dijadikan dasar dari delik.

BAB 19.TEORI OBJEK NACHTRAGLICHE PROGNOSE
            Teori adequate von Kries dan juga teori menggeneralisir lainnya, sedikit atau banyak dalam menentukan ukuran untuk adanya hubungan kausal adalah kurang obyektif, masih kecampuran pandangan subyektif (pengetahuan terdakwa).Oleh karena itupandangannya dinamakan subyektive prognose(peramalan yang subyektif).Di samping ada teori adequate yang berpendirian atas peramalan obyektif, yaitu dengan mengingat keadaan-keadaan sesudah terjadinya akibat. (obyektif nachtragliche prognose).
            Menurut Rumelin dalam menentukan apakah suatu kelakuan menjadi musabab dari akibat yang terlarang yang harus dijawab ialah: Apakah akibat itu, dengan mengingat semua keadaan-keadaan obyektif yang ada pada saat sesudahnya terjadi akibat, dapat diramalkan akan timbul dari kelakuan itu. Dengan demikian, jadi dengan peninjauan post faktum itu dapat dikatakan pula, bahwa teori Rumelin ini tergolong teori yang meng-individualisir, sehingga perbedaan antara hari ini dengan teori yang saya ajukan di atas ialah mengena: Ukuran apakah yang dipakai untuk meramalkan akan timbulnya akibat dari kelakuan yang tertentu, (dalam formulereng saya istilahnya bukan meramalkan tetapi menetapkan mesti timbulnya akibat).

BAB 25. ALASAN PEMBENAR ,PEMAAF dan alasan penghapus penuntutan.
Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Title ke-3 dari buku pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan pidana. Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan menjadi :
1.      Alasan pembenar: yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.
2.      Alasan pemaaf : yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi tidak bisa dipidana karna tidak ada kesalahan.
3.      Alasan penghapus penuntutan : dalam hal ini tidak ada alasan pembenar maupun alasan pemaafjadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan.
Menurut M.v.T. alasan-alasan penghapus pidana dibagi menjadi :
1.      Alasan-alasan yang terdapat dalam bathin terdakwa yaitu pasal 44 KUHP.
2.      Alasan-alasan yang diluar yaitu pasal 48-51 KUHP.
Tetapi dalam teori pembagian yang dilakukan M.v.T. ini di dalam teori tidak ada yang memakainya sebab tidak tepat, yaitu diantara alasan-alasan yang diluar ada yang lebih tepat jika dimasukkan dalam alasan-alasan yang terdapat dalam bathin terdakwa.
Selain alasan-alasan penghapus pidana yang umum dan title 3 buku pertama KUHP, dalam buku kedua masih ada alasan-alasan penghapus pidana yang khusus, yaitu yang hanya berlaku terhadap perbuatan yang tertentu saja misalnya pasal 310 (3).
Biasanya dalam title 3 buku pertama yang di pandang sebagai alasan pembenar adalah :
·         Pasal-pasal 49 (1) mengenai pembelaan terpaksa ( noodweer)
·         Pasal 50 mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang.
·         Pasal 50 (1) mengenai melaksanakan perintah dari alasan.
Alasan pemaaf : Pasal 49 (2) tentang pembelaan yang melampaui batas.
Alasan penghapus : pasal 51 (2) penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wenang.

BAB 26. Tentang daya paksa ( overmacht ).
            Dalam pasal 48 berbunyi : barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh dayapaksa tidak dipidana. Kata dayapaksa ini adalah salinan kata belanda “overmacht” yang artinya kekuatan atau daya yang lebih besar. Engelbrecht menyalin pasal tersebut seperti berikut : tidak boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh berat lawan.
            Yang menajadi persoalan sekarang ialah apakah daya paksa yaitu daya yang memaksa merupakan paksaan pisik terhadap mana orang yang terkena tak dapat menghindarkan diri, atau merupakan paksaan psychis, dalam batin, terhadap mana meskipun secara pisik orang masih dapat menghindarkannya, namun daya daya itu adalah demikian besarnya sehingga dapat dimengerti kalau tidak kuat menahan daya tersebut. Kekuatan pisik yang kuat yang tidak dapat dihindari dinamakan visabsoluta, sedangkan kekuatan psychis dinamakan viscompulvisa, karena sekalipun tidak memaksa secara mutlak tetapi memaksa juga.
Umumnya dikatakan bahwa vis absoluta tidak masuk dalam pasal 48 tapi hanya vis compulsive saja. Sebabnya ialah dalam vis absoluta orang yang berbuat bukan yang terkena paksaan tetapi orang yang member paksaan pisik. Mengenai vis compulsive biasanya ini dibagi dalam daya paksa dalam arti sempit ( overmacht in enge zin ) dimana sumber atau musababnya paksaan keluar keluar dari orang lain, dan keadaa darurat ( noodtoestand ) dimana daya tadi tidak disebabkan oleh orang lain tetapi timbul dari keadaan-keadaan tertentu.
Dalam dayapaksa yang sempit inisiatif untuk berbuat kea rah perbuatan yang tertentu ada pada orang yang member tekanan. Sedangkan dalam keadaan darurat orang yang terkena bebas untuk memilih perbuatan mana yang dilakukan, inisiatif ada padanya sendiri.
Contoh dari dayapaksa yang sempit adalah kalau orang ditodong dengan pistol untuk melakukan sesuatu perbuatan pidana dalam keadaan darurat biasanya dikatakan ada 3 kemungkinan yaitu :
·         Orang terjepit antara 2 kepentingan dengan kata lain disini ada konflik antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain. Contoh karneades ketika kapalnya tenggelam dapat menyelamatkan diri dengan pegangan pada suatu papan yang terapung di air dimana juga ada orang lain pegangan tetapi malangnya papan tersebut hanya bisa mengangkat satu orang saja. Untuk menyelamatkan dirinya ia mendorong orang lain tersebut lepas dari papan sehingga tenggelam di laut. Disini dia mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan dirinya.
·         Orang terjepit dianatara kepentingan dan kewajiban. Jadi ada konflik antara kepentingan dan kewajiban. Contoh karena sudah tidak makan beberapa hari orang mencuri sebuah roti. Disatu pihak kepentingan sendiri mendesak untuk segera mendapatkan makanan di lain pihak adalah kewajibannya untuk mentaati larangan mencuri akhirnya kepentingan sendiri dituruti.
·         Ada konflik antara dua kewajiban. Orang dapat panggilan untuk hadir di pengadilan pada hari yang sama dimana dia juga harus dating pada pengadilan kota lain. Kewajiban yang pertama diabaikan untuk menunaikan kewajiban yang kedua
Apakah dayapaksa merupakan alasan pembenar atau pemaaf ? menurut van hattum dalam pasal 48 hanya ada alasan pemaaf perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan hukum tetapi kesalahannya bisa di maafkan karena pengaruh dayapaksa tadi. Dalam dayapaksa yang sempit orang yang melakukan perbuatan tidak dapat bebas menentukan kehendaknya akibat adanya tekanan psychis dari orang lain tapi ada kalanya juga karena keadaan.
BAB 27. pembelaan terpaksa ( noodweer ).
      Pasal 49 ayat 1 berbunyi barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan ( eerbaarheid ) atau harta benda sendiri maupun orang lain tidak dipidana. Kalimat ini masih dapat disingkat sebagai berikut : barang siapa terpaksa melakukan pembelaan karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri, kehormatan kesusilaan atau harta benda baik kepunyaan sendiri maupun orang lain tidak dipidana.
Yang menjadi soal pertama adalah perbuatan yang dimaksud dalam pasal 49 ayat 1 KUHP harus berupa pembelaan artinya lebih dahulu harus ada hal-hal memaksa terdakwa melakukan perbuatannya. Hal-hal iyu dalam pasal tadi di rumuskan sebagai adanya serangan atau ancaman serangan.
Tentang saat dimulainya serangan dalam pasal tadi ditentukan harus seketika itu yaitu antara saat melihatnya ada serangan dan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada jarak waktu yang lama. Begitu orang mengerti adanya serangan begitu dia mengadakan pembelaan ini ketentuan di Nederland.
Buat Indonesia saat dimulainya lebih di ajukan lagi yaitu dengan menambah kata “ ancaman “ sehingga dalam pasal ini ada oogenblikkelijke aanranding ( ancaman serangan ketika itu ). Jadi disini dimana orang boleh mengadaka pembelaan kalau sudah dimulai dengan adanya serangan, tapi baru ada ancaman akan adanya serangan saja sudah boleh. Ini disebabkan atas pertimbangan bahwa dalam Negara yang begitu luas dengan alat-alat Negara yang terbatas sekali pemerintah harus lebih member kebebasan kepada penduduk untuk menjaga keselamatannya masing-masing.
Jika direnungkan sejenak hal-hal diatas mengenai saat adanya serangan baik mulainya maupun akhirnya maka kalau yang di pakai sebagai ukuran hanya soal waktu sebelum atau sesudah adanya serangan saja kiranya kurang mencukupi. Ukuran yang pokok harus diambilkan dari kata “ terpaksa “ yaitu pembelaannya harus bersifat terpaksa artinya tidak ada jalan lain bagi yang terkena untuk pada saat-saat itu menghalaukan serangan. Jika demikian maka dalam kata “ terpaksa melakukan pembelaan “ ada 3 pengertian yaitu :
·         Harus ada serangan atau ancama serangan.
·         Harus ada jalan lain untuk menghalaukan serangan atau ancaman serangan pada saat itu.
·         Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan sifatnya serangan ancaman serangan.
Soal kedua mengenai kepentingan macam apa saja yang harus diserang sehingga dibolehkan pembelaan ? ada 3 hal yang masing-masing baik kepunyaan sendiri maupun kepunyaan orang lain yaitu :
·         Diri atau badan orang.
·         Kehormatan, kesusilaan
·         Harta-benda orang .
Bagaimana kalau orang mengira ada serangan atau mengira bahwa serangannya itu melawan hukum padahal senyatanya tidak dan mengadakan pembelaan menurut pasal 49 ayat 1 ? ini dinamakan pembelaan terpaksa yang putative yang hanya dalam pikirannya sendiri saja tapi sesungguhnya tidak ada. Bagi orang yang demikian itu tidak mungkin ada alasan pembenar. Perbuatannya tetap keliru hanya saja pidana dapat dikurangi bahkan ditiadakan kalau salah sangka atau salah terkanya tadi dapat dimegerti dan dapat diterima.   
BAB 28. tentag melaksanakan undang-undang dan perintah jabatan.
Dalam pasal 50 : barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana.
Pasal 51 ayat 1 : barangsiapa melaukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wewnang tidak dipidana.
Dalam kedua hal itu ada alasan pembenar sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa benar dan sudah semestinya.
Pasal 51 ayat 2 : perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Disini perlu kiranya mengajukan sebagai perintah jabatan yang diberi oleh pembesar yang tidak berhak, tidak membebaskan dari hukuman, kecuali kalau dengan hati jujur pegawai yang di bawahnya menyangka bahwa pembesar itu berhak akan memberi perintah itu dan menjalankannya terletak dalam lingkungan kewajiban pegawai yang di bawahnya itu.
Mengenai isi ayat 2 pasal 51 yang pertama-tama harus ditonjolkan ialah bahwa disitu meskipun tidak secara terang-terangan tersimpul gagasan penting yaitu bahwa tidak tiap-tiap pelaksanaan perintah jabatan melepas orang yang diperintah dari tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Dengan kata lain disitu termasuk dari apa yang dinamakan disiplin bangkai. Pemerintah kita mengutuk orang yang secara membuta tanpa dipikir-pikir lebih dahulu menjalankan begitu saja perintah dari atasannya.
Untuk dapat melepas orang yang diperintah dari tanggungjawab atas perbuatannya menurut ayat tersebut ada 2 syarat :
·         Yang subyektif yaitu dalam batin orang yang diperintah harus mengira bahwa perintahnya adalah sah baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan perintah maupun dari segi macamnya perintah. Tetapi meskipun terdakwa mengatakan dia mengira bahwa perintah adalah sah tetapi kalau hal itu dengan wajar tidak dapat disimpulkan dari fakta-fakta yang ada maka disitu unsure dengan itikad baik tidak ada.
·         Jika terdakwa mengira bahwa perintah adalah sah atau berwenang maka apa yang diperintahkan itu secara obyektif yaitu dalam kenyataannya harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya. Contoh seorang agen polisi diperintahkan oleh atasannya supaya orang tahanan yang selalu berteriak-teriak di pukuli. Karena seorang agen polisi bukan untuk menyiksa orang tapi hanya untuk menangkap, menggeledah badannya, atau memeriksa perkaranya maka apa yang diperintahkan tadi tidak masuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Kalau hakim menentukan bahwa pasal 49 ayat 2 berlaku bagi orang yang diperintah sehingga dia tidak dapat dipidana apakah disitu ada alasan pembenar juga seperti halnya dengan pasal 49 ayat 1 ? sama sekali tidak. Ii adalah konsekuensi dari pendirian pokok bahwa kita tidak menginginkan pelaksanaan perintah jabatan secara buta. Akibatnya ialah bahwa perbuatan yang dilakukan karena perintah tanpa wewenang tadi tetap bersifat keliru atau melawan hukum sehingga tidak mungkin merupakan alasan pembenar. Karenanya kebanyakan kali dikatakan disitu ada alasan pemaaf.
BAB 29. pertanggung jawaban dalam hukum pidana.
Pada waktu membicarakan pengertian perbuatan pidana, telah diajukan bahwa dalam istilah tersebut tidak termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apaah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga di jatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidanan ialah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het meteriele feit ( fait materielle ). Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu dari H.R. 1916 nederland hal itu ditiadakan. Juga bagi delik-delik jenis overtredingen, berlaku asas tanpa kesalahan tak mungkin dipidana.
Apa arti kesalahan ? menurut simons kesalahan adalah adanya adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Untuk adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana :
·         Adanya keadaan psychis ( batin ) yang tertentu.
·         Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan.
Dalam kebanyakan KUHP Negara-negara lain ada ditentukan bahwa terhadap anak dibawah umur yang tertentu misalnya 10 tahun tidak dapat diajukan tuntutan pidana. Contoh KUHP swiss 6 tahun, 6-14 tahun ada aturannya sendiri jerman 14 tahun.
Dalam KUHP anehnya ketentuan yang demikian tidak ada. Dahulu pada tahun 1885 ada pasal 38 yang menentukan bahwa anak-anak di bawah umur 10 tahun tidak dapat dikenai pidana. Tapi pasal ini pada tahun 1905 dihapus. Maksunya ialah agar terhadap anak-anak di bawah 10 tahun dimungkinkan penuntutan, tidak supaya dipidana tapi diadakan tindakan ( matregelen ). Akibat perbaikan tersebut adalah sebagai berikut :
·         Dengan hilangnya batas umur tersebut tidaklah berarti bahwa anak-anak dibawah umur tersebut sekalipun belum dapat membedakan antara perbuatan yang baik dengan yang buruk harus dipidana.
·         Terhadap anak-anak itu tentunya lebih lekas dianggap tak ada kesengajaan/kealpaan daripada orang dewasa.
·         Kalau memang anak tersebut belum mempunyai penginsyafan tentang makna perbuatannya maka atas dasar tak dipidana jika tak ada kesalahan dia dapat diperkecualikan. Jadi tidak dapat dipidananya anak yang demikian itu tidak didasarkan atas suatau pasal dalam wet melainkan atas hukum yang tertulis.
Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan batin dengan perbuatannya ( atau dengan suatu keadaan yang menyertai perbuatan ) yang menimbulkan celaan tadi harus berupa kesengajaan atau kealpaan. Dikatakan bahwa kesengajaan ( dolus ) dan kealpaan ( culpa ) adalah bentuk-bentuk kesalahan ( schuldvormen ). Diuar dua bentuk ini KUHP kita ( dan kiranya juga lain-lain Negara ) tidak mengenal macam kesalahan lain.
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa intinya kesalahan adalah pernilaian dari keadaan psychologis itu dinamakan “ nomatief schuldbegrip “ ( paham kesalahan yang normative ). Begitu pula waktu menyelidiki batin orang yang melakukan perbuatan. Bukan bagaimana sesungguhnya keadaan batin orang itu yang menjadi ukuran, tapi bagaimana penyelidik ( hakim ) mempernilai keadaan batinnya menilik fakta-fakta yang ada disitu.
Sering dikatakan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang besar, sedangkan kealpaan kesalahan yang kecil. Karenanya dalam KUHP sistemnya ialah bahwa delik-delik dolus diancam dengan pidana yang jauh lebih besar daripada ancaman bagi yang culpa, contoh pasal 338 (pembunuhan (dolus ) 15 tahun, pasal 359 menyebabkan mati karna kealpaan 1 tahun penjara, pasal 354 penganiyaan berat 8 tahun, pasal 360 menyebabkan dengan luka berat 8 bulan penjara. ( mengenai pasal-pasal ini diadakan perubahan dalam tahun 1860 diancam pidana dijadikan 5 tahun ).
Dengan demikian untuk adanya kesalahan terdakwa harus :
·         Melakukan perbuatan pidana.
·         Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab.
·         Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
·         Tidak adanya alasan pemaaf.  

BAB 30. Kemampuan Bertanggung Jawab
            Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggun jawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal, yang sehat.Marilah sekarang keadaan batin yang normal itu kita tinjau lelbih dalam.
            Dalam KUHP kita tidak ada, keuntungan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan ituialah pasal 44: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Kalau tidak dapat dipertanggung jawabkan itu disebabkan karena hal lain, misalnya jiwanya tidak normal karena masih sangat muda atau lain-lain, pasal tersebut tidak daoat dipakai.
            Dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan, bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:
1. Kemampuan untuk mebeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hokum dan yang melawan hukum.
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
            Yang pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan atau tidak. Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
            Sebegai konsekuensi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan dan kalau melakukan pidana.Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggung jawabkan.Menurut pasal 44 KUHP tadi ketidakmampuan tersebut harus disebabkan karena alat-alat batinnya sakit atau cacat dalam tubuhnya.
            Dalam merumuskan KUHP ketidak mampuan bertanggung jawab sebagai hal yang menghapuskan pidana, orang dapat menempuh 3 jalan, yaitu:
1. Ditentukan sebab-sebab yang menghapuskan pemidanaan
2. Menyebutkan akibatnya saja; penyakitnya sendiri tidak ditentukan
3. Gabungan dari 1 dan 2, yaitu menyebabkan sebab-sebabnya penyakit jika dan penyakit itu harus sedemikian rupa padanya (deskriptif I normative).
            Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur (elemen) kesalahan.Karenanya mestinya untuk membuktikan adanya kesalahan, unsur tadi harus dibuktikan pula.Ini sangat sukar, karena pada umumnya orang-orang adalah normal batinnya, diam selalu ada, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal.

BAB 31. Kesengajaan
            Tentang apakah arti kesengajaan, tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP. Lain halnya dengan KUHP Swiss di mana dalam pasal 18 dengan tegas ditentukan: Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja.
            Definisi seperti ini, dalam Memorie van Toelicting Swb. Adapula: “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.
            Soalnya sekarang ialah, apakah arti dikehendaki dan diketahui?Dalam teori tentang hal ini ada dua aliran, yaitu:
A. Teori kehendak (wilstheorie) yaitu yang paling tua dan masa timbulnya teori yang lain mendapat pembelaan kuat dan von Hippel guru besar di Gottingen, Jerman. Dinegeri Belanda antara lain dianut oleh Simons.
B. Teori pengetahuan (voorstellingstheorie) yang kira-kira tahun 1910 diajarkan oleh Frank, guru besar di Tubingen, Jerman, dan mendapat sokongan kuat dan von listiz. Di Nederland penganutnya antara lain adalah von Hamel.
            Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet. (de op verwerkelijking der wettelijke omschrijving gerichte wil), sedangkan menurut yang lain, kesengajaan adalah kehendak utnuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlakukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke omsch).
            Selanjutnya tentang kedua teori tersebut Pompe menulis bahwa perbedaan tidak terletak pada kesengajaan untuk mengadakan kelakuan (positif maupun negatif) itu sendiri yang oleh dua-duanya disebut sebagai kehendak, tetapi terletak dalam kesengajaan terhadap unsur-unsur lainnya (sejauh harus diliputi kesengajaan), yaitu akibat dan keadaan yang menyertainya.
            Mengenai kesengajaan terhadap unsur-unsur ini yang satu mengatakan tentang pengetahuan (mempunyai gambaran tentang pa yang ada dalam kenyataan, jadi mengetahui mengerti) sedangkan yang lain mengatakan tentang kehendak.
            Dalam corak kesengajaan sebagai kepastian/keharusan biasanya tidak timbul kesukaran.Akibat/keadaan yang menyertai diketahui betul akan adanya baik hal itu memang yang dikehendaki. Yang menimbulkan kesulitan adalah corak kesengajaan sebagai kemungkinan, yang umumnya terkenal dengan anama dolus eventualis.
            Mengenai dolus eventualis itu, teori yang dikenal sebagai “inkauf nehmen” (op den koop toe nemen) adalah yang paling jelas.Teori inkauf nehmen adalah teori mengenai dolus eventualis, bukan mengenai kesengajaan. Disini ternyata bahwa sesungguhnya akibat atau keadaan yang diketahui kemungkinan akan adanya, tidak disetujui. Tapi meskipun demikian, untuk mencapai apa yang dimaksud, resiko akan timbulnya akibat atau keadaan disamping maksudnya itupun diterima. Maka dari itu teori ini dinamakan inkauf nehmen. Munurut teori inkauf nehmen untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat:
A. Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupakan delik.
B. Sikapnya terhadap kemungkinan itu andai kata sungguh timbul, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan berani pukul resikonya.
            Mengenai A hal ini dapat dibuktikan dari kecerdasan pikirannya yang dapat disimpulkan antara lain dari pengalaman, pendidikannya atau lapisan masyarakat Dimana terdakwa hidup. Sedangkan, mengenai B antara lain dapat dibuktikan dari ucapan-ucapan terdakwa disekitar perbuatan, tidak mengadakan usaha untuk mencegah akibat yang tidak diingin dan sebagainya.
            Teori dalam kesengajaan ada tiga corak, yaitu:
1. Kesengajaan sebagai maksud
2. Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan
3. dolus eventualis

BAB 32. Kesengajaan Atau Kealpaan Mengenai Sesuatu Unsur Delik Yang Tertentu, Pro Parte Dolus, Pro Parte Culpa, Kesengajaan Berwarna.
            Kesengajaan atau kealpaan terhadap suatu unsur delik yang tertentu yang masing-masing merupakan delik dolus dan delik culpa dengan ancaman pidana yang berbeda-beda, dalah KUHP dijumpai juga rumusan delik dimana terhadap suatu unsur yang tertentu berlaku berbareng kesengajaan atau kealpaan, dengan ancaman pidana yang sama. Contohnya, dalam pasal 480 disebutkan bahwa untuk adanya penadahan, benda yang dibeli, disewa dan sebagainya, oleh terdakwa, harus diketahui atau sepatutnya harus diduga (redelijkerwijs moeten vermoeden) bahwa berasal dari kejahatan, bukan saja disyaratkan adanya kesengajaan, tetapi cukup juga ada kealpaan terhadapnya.
            Cintih lain adalah mengenai kejahatan terhadap kesusilaan yaitu pasal: 283, 287, 288,290,292, dan 293 KUHP.
            Dalam tahun 1990, konstruksi tersebut masih demikian janggalnya, sehingga ketika diajukan usul antara lain mengenai pasal 140 (169 KUHP) supaya terhadap hal bahwa perkumoulan tujuannya adalah melakukan kejahatan, terdakwa harus mengetahui atau selayaknya harus menduga (dolus atau culpa), orang lebih setuju meneruskannya sebagai unsur yang di obyektifkan daripada menerima konstruksi seperti demikian itu.
            Bagaimana tentang hubungan batin anatara terdakwa dan sifat melawan hukumnya perbuatan?
            Dalam menguraikan unsur-unsur perbuatan pidana diambil sebagai pendiri bahwa, meskipun biasanya unsur melawan hukum tidak disebut dalam rumusan delik, namun sifat itu merupakan syarat mutlak baginya, sehingga manakala tidak disebut dengan nyata-nyata dalam rumusan, sifat melawan hukum tersebut dianggap dengan diam-diam selalu ada. Sebab justru karena adanya sifat itulah maka perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana.
            Bertalian dengan ini, dilihat dari segi batin orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, untuk adanya kesalahan sudah barang tentu, selain daripada adanya hubungan batin dengan unsur-unsur perbuatannya, yang mungkin berbentuk kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) perlu pula adanya hubungan dengan sifat melawan hukumnya perbuatan. Sebab kalau tidak, jadi kalau terdakwa tidak insyaf bahwa dia telah melakukan perbuatan yang keliru (dolus) atau setidak-tidaknya, kalau tidak insyafnya akan sifat kelirunya perbuatan tidak disebabkan kealpaan (culpa), dimana lalu letak kesalahannya? Dan bagaimana lalu dapat meneruskan celaan yang secara obyektif ada pada perbuatannya, juga secara subyektif kepada orang yang melakukan perbuatan tadi?
            Konsepsi bahwa adanya kesalahan, hubungan batin dengan sifat melawan hukumnya perbuatan, bukan selalu harus berbentuk kesengajaan, tapi cukup pula kalau berbentuk kealpaan.

BAB 33 ERROR IN PERSONA DAN ABERATIO ICTUS
Error in persona adalah suatu dwaling ,suatu paham atau kekeliruan dari pihak terdakwa terhadap orang yang akan dituju .jadi salah paham tentang objeknya perbuatan,umpamanya: Apabila yang akan dibunuh itu A ,padahal sesungguhnya yang dianggap  A itu adalah B.
Dalam keadaan semacam itu dikatakan bahwa terdakwa tidak mempunyai kesengajaan untuk membunuh B. Kalau begitu,apakah terdakwa tidak dapat dipidana? Tentu saja dapat,tergantung dari bunyi dakwaan.Jika dakwaan tidak dipidana maka memang tidak ada kesengajaan.Yang ada adalah membunuh A .Seharusnya didakwakan telah membunuh orang lain,yang ternyata B.Rumusan pasal 338 KUHP juga hanya mensyaratkan matinya orang lain (lain daripada terdakwa).Jadi error persona dalam contoh di atas tidak mengakibatkan apa-apa. Lain halnya menghina kepala negara itu yang sesungguhnya adalah orang biasa dalam error in persona ,terdakwa tidak dapat dipidana dengan pasal 134.Tetapi dengan pasal penghinaan yang biasa digunakan .
Voorbedachte read (dolus praemeditatus)
Unsur ini sering diterjemahkan dengan rencana lebih dahulu,kita jumpai dalam pasal 340 KUHP,yaitu yang menentukan bahwa doodslag (pembunuhan) yang dilakukan oleh voorbedachte raad dinamakan moord dan diancam dengan pidana lebih berat daripada pembunuhan biasa dalam pasal338.Dalam pembunuhan biasa itu adalah 15 tahun.Tetapi ,jika direncanakan terlebih dahulu maka bisa seumur hidup.Menurut M.v.T.(Simons II hlm .460)voorbedachte raad yaitu pertumbuhan kehendah untuk membunuh itu secara demikian tadi(tiba-tiba) , tetapi melakukan perbuatannya in koelen bloede (dengan hati-hati). Menurut Jonkers unsur voorbedacthte raad biasanya dirumuskan dalam tuduhan sebagai melakukan perbuatan sebagai direncanakan dengan pertimbangan yang tenang.Karena hal yang melakukan perbuatan sebagi direncanakan dengan hati tenang sangat susah sekali untuk dibuktikan.

BAB 34 KEALPAAN
Pada umumnya kejahatan terjadi karena kesengajaan ,tetapi ada kalanya seandainya pidana itu terjadi karena kealpaan atau sebuah lkelalaian.Dalam kaalpaan dalam pudana ini bukan semata-mata menentang larangan tersebut dengan justru melakukan yang dilarang itu.Tetapi subjek hukum tidak mengindahkan larangan. Ini ternyata dalam perbuatannya , ia alpa,lalai ,teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Jika subjek hukum tadi mengindahkan larangan tadi waktu bmelakukan perbuatan itu kausal menimbulkan hal yang dilarang ,dia tentu tidak alpa atau kurang berhati-hati agar jangan sampai mengakibatkan hal yang dilarang tadi.Oleh karena itu kesalahan ini termasuk rumusan delik,maka juga harus dibuktikan .
Ada juga yang menyebut kesengajaan yaitu kesediaan secara sadar untuk melakukan kejahatan terhadap subjek hukum yang dilindungi oleh hukum . Dan kealpaan adalah kekurangan  perhatian terhadap objek tersebut dengan tidak disadari. Kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Dasarnya adalah sama,yaitu :
1)      Adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,
2)      Adanya kemampuan untuk bertanggung jawab,
3)      Tidak ada alasan pemaaf.
Tetapi ada bentuk lain .Dalam kesengajaan sikap orang secara bati itu menentang larangan .Dalam kealpaan ,kurangmengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausala menimbulkan keadaan yang dilarang.
Van Hamel (cetakan ke-6 ,halaman 267) tentang ini mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat ,yaitu :
1)      Tidak mengunakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2)      Tidak mengadakan penghati-hati sebagaiman yang diharuskan ole hukum .
      Simons (cetakan ke-6 ,halamn 267) tentang ini mengatakan :
“Isis kealpaaan adalah tidak adanya penghati-hati disamping dapat diduga-duga akan timbul akibat”.
            Jadi kira-kira sama dengan van Hamel diatas. Ini memang dua syarat yang menunjukkan bahwa dalam batin terdakwa kurang diperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hukum atau ditinjau dari sudut masyarakat,bahwa dia kurang memperhatian akan larangan –larangan yang berlaku dalam masyarakat.
A.     Tidak Mengadakan Penduga-duga yang Perlu Menurut Hukum

Mengenai ini ada dua kemungkian ,yaitu
1)      Atau terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya ,padahal pandangan itu kemudian ternyata tidak benar.
2)      Atau terdakwa sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya . Dalam hal yang pertama kekeliruan terletak pada salah satu pikir atau pandang ,yang seharusnya disingkiri.Dalam hal kedua terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibatnya mungkinakan timbul ,hal mana adalah sikap yang berbahaya.

B.     Tidak Mengadakan Penghati-hati Sebagaimana Diharuskan oleh Hukum
Van Hemel menerangkan bahwa “ ini antara  lain adalah tidak mengadakan penelitian ,kebijakasaan ,kemahiran atau usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan-keadaan yang tertentu atau dalam caranya melkukan perbuatan”. Jadi yang menjadi objek peninjauan dan penilaian bukan batin terdakwa tetapi apa yang dilakukan atau tingkah lakuterdakwa sendiri.
Jonkers dalam hal ini tidak jelas bagaimana hubungan antara sifat melawan hukum perbuatan dan kealpaan. Beliau mengatakan : “sebagai unsur adanya kealpaan biasanya diperlukan wederrrechtelijkheid,vermijdbaarheid,dan verwijtbaaeheid. Ketiga unsur belakangan ini mencampurkan diri satu sama lain . Akibat yang diduga-duga akibatnya dapat disingkiri.Sekalipun disingkiri tetap dilakukan ,sehingga  timbul akibat yang dilarang. Disitu ada verwijtbaarheid sifat melawan huku sebaliknya adalah unsur sifat kealpaan yang berdiri sendiri.Hanya dapat dikatakan adanya kealpaan , jika diperhitungkan atau dilarang oleh undang –undang”.

BAB 35 KEALPAAN YANG DISADARI DAN YANG TIDAK DISADARI
            Pada waktu W.v.S ., dibentuk maka bewuste schuld adalah corak yang lebih berat daripada kealpaan yang tidak disadari.Hal ini ternyata dalam ucapan Modderman yang mengatakan :”Corak kealpaan yang paling enteng ialah bahwa orang melakukan pelanggaran hukum dengan tidak diinsafi sama sekali”. Dia tidak tahu tidak berpikir lebih panjang atau tidak bijaksana. Tetapi corak kealpaan yang lebih berat adalah yang dinamakan bewuste schuld,yaitu kalau pada waktu berbuat kemungkinan menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsafi,tetapi karena kepandainnya atau diadakannya tindakan –tindakan yang mencegahnya kemungkinan itu diharapkan tidak akan timbul (Smidt I,88) .Pandangan ini pada waktu sekarang sudah dilepaskan karena:
1)      Tidak mempunyai guna yang praktis dalam masyarakat.
2)      Belum tentu kalau kealpaan yang tidak disadari adalah kesalahan yang lebih enteng daripada yang disadari (van Hattum.286)
Pendapat van Hattum ini dapat kita setujui. Dengan beralihnya ukuran dan psikologis menjadi yang normatif, maka karenanya pandangan minister Modderman tersebut kehilangan dasarnya.

BAB 36  DELICT CULPOOS YANG SESUNGGUHNYA DAN DELICT CULPOOS YANG TIDAK SESUNGGUHNYA
            Dalam rumusan kejahatan dalam KUHP kesalahan yang berbentuk kealpaan dinyatakan dengan istilah “aan zijn schuld te wijten” atau “ten gevolge van onavhtzaamheid” [yaitu pasal –pasal 188,344,360,231 (4),232(2) ]. Dalam pasal-pasal tersebut dilihat berupa menimbulkan akibat yang tertentu;jadi delik-delik tersebut dirumuskan secra materiil.Ini bisa dinamakan delich culpoos yang tidak sesungguhnya,yaitu doles yang salah satu unsurnya diculpakan ,misal Pasal 287:”di luar perkwinan bersetubuh dengan perempuan yang dia tahu kalau selayaknya harus menduga bahwa umurnya belum cukup 15 tahun atau jika umurnya ternyata , belim dewasa untuk bersetubuh(belum huwbar).
            Di dalamnya ada dua bentuk kesalahan:
1)      Bersetubuh dengan yang diketahui belum berumur 15 tahun (delict doleus biasa)
2)      Bersetubuh dengan seseorang yang diduga selayaknya belum 15 tahun .Di sini ialah salah satu unsur delik tersebut diculpakan.
Ada istilah lain dalam delict culpoos yang tidak sesungguhnya ,yaitu “moeten verwachten” (seharusnya mengira) yang dipakai dalam Pasal-pasal 483 dan 484 KUHP yang mengatur pertanggung jawab penerbit dan pencetak.Dalam pasal 61 dan 62 KUHP ditentukan bahwa dalam hal kejahatan dengan cetakan ,penerbit atau pencetak karangan yang mengandung delik tidak akan dituntut jika ia menyatakan namanya sendiri pada barang-barang cetakan yang memuat karangan tersebut,dan jika ditanya oleh oleh instansi yang berwajib dapat menyebut nama pengarang.
Perkecualian pertanggungjawwaban ini tidak berlaku jka pada waktu dirterbitkan si pengarang tidak dapat dituntut atau telah menetap diluar indonesia . Dalam hal itu berlaku pasal 483 dan 484,dimana dinyatakan bahwa “kalau penerbit tahu atau seharusnya mengira ,bahwa perbuatannya pada saat penerbitan tidak dapat dituntut atau telah menetap diluar indonesia ,dia sendiri yang bertanggung jawab .Dengan contoh di atas maka tidak perlu apakah terdakwa betul-betulnya ada memikirkan akan kemungkinan bahwa pengarang tidak dapat dituntut atau telah menetap di luar negeri.

BAB 37 CULPA HAPUS KARENA KEALPAAN (KESALAHAN) ORANG LAIN ?
Pernah ada perkara yang tersebut dalam T.deel 149 kaca 707,putusan politie – rechter Medan tahun 1938,dimana pengendara oto pada malam hari menabrak dari belakang dari belakang satu cikar sapi yang sedang berjalan dalam jurusan yang sama ,sedang cikar itu tidak memakai lampu sebagaimana diharuskan ,pengendara cikar mendapat luka-luka berat.
            Pertimbangan politie –rechter adalah “ bahwa pada umumnya adanya kealahan pada pihak lain tidak begitu saja lalu menghapuskan kesalahan terdakwa.Dan dalam hal ini bukanlah tidak penting hal terdakwa melihat cikar itu sesudah terjadi tabrakan ,sehingga dapat diragukan apakah terdakwa melihat cikar itu pada saat yang yepat andaikata cikar memakai lampu.Lebih-lebih sebagaimana umum diketahui bahwa penerangan cikar adalag sangat jelek “.
Memang culpa tidak hapus begitu saja karena kealpaan atau kesalahan dari orang ketiga (orang lain) van Hattum (hlm .300) ada menciteer pula putusan HR 14 Nopember 1921: yakni mengenai pelanggaran kereta api,di mana dua orang stasiun dan tukang langsir,masing-masing terlepas satu sama lain,telah berbuat bertentangan instruksi-instruksi.Karena pembarengan dari kalakuan yang culpoos ini timbullah kecelakaan itu,sehingga “dalam hal-hal  demikian kedua-duanya bertanggung jawab atas akibat dari kesalahan itu,karena justru oleh karena perbuatan mereka bersama-sama itulah kecelakaan terjadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar